“Saya tidak pernah melihat begitu banyak pesawat terbang terparkir berbarengan,” kata U Nu saat mendarat di Bandung untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika.
Majalah penerbangan berbahasa Belanda, Vliegwereld, kala itu menulis Angkatan Udara Republik Indonesia merupakan kekuatan udara “yang paling ditakuti di Asia Tenggara.”
Enam tahun kemudian, 1 Juli 1961, AURI makin menggentarkan. Pesawat pengebom strategis Tupolev Tu-16 buatan Uni Soviet mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta. Indonesia menjadi negara keempat di dunia yang mengoperasikan jet pengebom selain Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet.
Daya pengebom Tu-16 disebut sebanding dengan pesawat pengebom supersonik Convair B-58 Hustler asal Amerika. Tak ayal AURI menjadi kekuatan udara yang amat diperhitungkan dunia. Berbagai jenis pesawat berjejer di Lanud Maospati, Madiun, Jawa Timur (kini Lanud Iswahjudi). Total lebih dari 100 pesawat yang dimiliki Indonesia.
Ada dalam daftar skuadron udara RI ialah 20 jet tempur supersonik Mikoyan-Gurevich MiG-21, 49 pesawat tempur high-subsonic MiG-17, 10 jet tempur supersonik bermesin ganda Mi-G19, 30 pesawat tempur high-transonic MiG-15, dan 24 pesawat pengebom Tupolev Tu-16. Seluruhnya dari Uni Soviet –yang memberikan pinjaman dana kepada Indonesia untuk pembelian alat utama sistem senjata.
Di antara deretan alutsista udara tersebut, Tu-16 dan MiG-21 paling disorot. MiG-21 kala itu ialah jet tempur penghadang paling ditakuti Blok Barat. Kedatangan pesawat-pesawat itu ke Indonesia diintai oleh Amerika lewat pesawat mata-mata yang diterbangkan dari Jepang.
Begitu melihat pesawat-pesawat itu mengangkasa berjajar –yang sengaja dilakukan AURI untuk unjuk kekuatan– Amerika langsung meminta Belanda membatalkan niat berperang secara terbuka dengan Indonesia dalam konfrontasi Irian Barat.
Apalagi Tu-16 dilengkapi rudal untuk menembak dan menenggelamkan Kapal Induk Karel Doorman milik Belanda di perairan Irian Barat.
Kekuatan melahirkan ketakutan. Bukan hanya negara-negara sekawasan di Asia Tenggara yang jadi ciut nyali, tapi juga di level Asia. China dan Australia misalnya ketika itu belum memiliki armada jet pengebom strategis.
Majalah penerbangan Inggris, Air Pictorial, sampai menulis dalam laporannya, “Ditilik dari sudut materiil, Angkatan Udara Australia ketinggalan total dari Angkatan Udara Indonesia.”
Masa keemasan AURI itu tak lepas dari pemimpinnya. Di bawah Suryadi Suryadarma, Angkatan Udara Republik Indonesia lahir dan dibesarkan. Pria yang disapa Surya itu dipercaya Presiden Sukarno menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara selama 16 tahun.
“Bangga juga saat itu Indonesia ditakuti,” kata Erlangga Suryadarma, putra Surya, kepada CNNIndonesia.com di kantornya, Airfast Indonesia, Tangerang, Jumat (1/4).
Membangun AURI Surya bukan orang sembarangan. Dia telah makan asam garam sejak Perang Dunia II. Lulusan Koninklijke Militaire Academie atau Akademi Militer Kerajaan Belanda itu ialah satu dari 40 warga Indonesia yang diterima di sekolah tersebut.Pria kelahiran Banyuwangi yang mewarisi darah keluarga Keraton Cirebon itu terlibat dalam berbagai operasi udara Belanda ketika Negeri Kincir Angin berhadapan dengan Jepang pada awal 1940-an.
Surya ikut bergabung sebagai navigator atau letnan penerbang intai ketika Belanda mengerahkan tiga pesawat pengebom Martin B-10 untuk menyerang armada Jepang di Tarakan, Kalimantan Utara pada Februari 1942.
Dari tiga pesawat itu, hanya satu yang kembali, yakni yang diawaki oleh Surya. Dia pun dianugerahi The Bronze Cross oleh Kerajaan Belanda. Di kemudian hari, Surya harus ‘berhadapan’ dengan Belanda yang tak rela Indonesia merdeka.
Diceritakan dalam buku Aku Sayap Tanah Air: Kisah Hidup dan Perjuangan Bapak AURI Marsekal R. Soeriadi Suryadarma, Surya ditugasi membangun AURI pasca-Indonesia lepas dari penjajah. Dimulai dari aksi merebut sejumlah pangkalan udara dari musuh, Surya memerintahkan agar pesawat-pesawat yang berhasil dikuasai Indonesia segera diperbaiki supaya bisa mengangkasa.
Dua teknisi, Basyir Surja dan Tjarmadi, pun pergi ke Lanud Maguwo (kini Bandara Adisucipto) di Yogyakarta. Di sana banyak pesawat bekas Jepang yang butuh perbaikan. Sebagian besar berjenis Cureng – pesawat latih dengan dua sayap di masing-masing sisi kanan-kiri yang diberi nama Yokosuka dalam bahasa aslinya, dan kerap dijuluki Red Dragonfly saat Perang Pasifik.Kondisi puluhan Cureng itu lantas dicek oleh Basyir dan Tjarmadi. Hasilnya, hanya tiga pesawat yang masih dalam kondisi baik dan lengkap. Perbaikan pun dilakukan. Dalam waktu singkat, sehari saja, tiga pesawat Cureng telah siap terbang.
Ketiga unit Cureng itu kemudian diberi tanda merah putih di bagian badan sesuai warna bendera Indonesia, dan diterbangkan oleh Agustinus Adisucipto pada 27 Oktober 1945. Adisucipto ialah lulusan Sekolah Penerbangan Militer di Kalijati Subang yang dipanggil Surya untuk ikut membantu membangun AURI.
Penerbangan Cureng oleh Adisucipto itu bersejarah. Pascaproklamasi kemerdekaan, kali pertama pesawat ‘berbendera’ Indonesia mengudara.
Enam bulan kemudian, 23 April 1946, saat digelar perundingan pemerintah Indonesia dengan Sekutu –yang disusupi Belanda– terkait pengembalian tawanan perang, satu pesawat pengebom Sokei Ki-48 dan dua pesawat Cukiu Ki-55 terbang dari Maguwo Yogya menuju Kemayoran Jakarta membawa rombongan KSAU Komodor Suryadi Suryadarma yang ditugasi ikut berunding.Melihat pesawat-pesawat peninggalan Jepang itu mendarat di Bandara Kemayoran, Belanda kaget. Mereka tak sangka delegasi Indonesia tiba melalui jalur udara, dikira bakal menumpang kereta. Rencana mematahkan Indonesia yang belum genap setahun pun kandas.
“Pesawat-pesawat yang diterbangkan orang-orang Indonesia itu menggambarkan bahwa kekuatan udara Indonesia eksis, ada secara fisik. Itu kali pertama Angkatan Udara unjuk kekuatan. Belanda tidak bisa menembak pesawat-pesawat Indonesia karena itu pertemuan yang direstui Sekutu,” kata Erlangga.
Melihat kemegahan armada udara Indonesia era 1950 sampai 1960-an, tak kurang Inggris kala itu menyatakan, “Kekuatan udara terbesar di Asia Tenggara ialah Angkatan Udara Republik Indonesia.”
Sumber : CNN