Soviet selama ini memang tidak focus pada melawan kapal induk Amerika di tengah lautan. Tetapi menekankan pada strategi “penolakan laut” yang menggunakan kombinasi pembom Backfire, kapal selam dan kapal permukaan bersenjata dengan rudal anti kapal. jarak jauh. Republik Rakyat Cina juga tampaknya fokus pada pengembangan strategi anti-akses menggunakan metode yang sama. Tapi seperti Soviet menjelang akhir Perang Dingin, China tampaknya berniat mengembangkan armada permukaan biru yang mungkin suatu hari dapat menantang Angkatan Laut AS di laut lepas.
Langkah pertama dilakukan China dengan membeli kapal induk era Soviet yang belum selesai dibangun kemudian dirombak hingga melahirkan Liaoning. Tapi Liaoning hanyalah titik awal dan hanya digunakan untuk pelatihan awal guna mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk mengoperasikan pesawat dari kapal induk.
Untuk menguasai komponen sayap udara, Cina telah menggunakan prototipe awal Su-33, yang merupakan Flanker versi kapal induk. Prototip pesawat didapat China dari Ukraina yang kemudian melahirkan jet tempur J-15.Selanjutnya, China sedang mengembangkan sejumlah pesawat dukungan yang juga akan melayani di pesawat kapal induk di masa depan Sekarang, sayap pesawat terdiri dari 24 armada J-15, enam helikopter anti-kapal selam Z-18F, empat helikopter peringatan dini udara Z-18J dan sepasang helikopter penyelamat Z-9C.
Pentagon dalam laporannya 2015 menyebut Liaoning dan sayap udara yang ada saat ini tidak benar-benar mampu memproyeksikan kekuatan mereka dalam jarak jauh. Kapal ini terlalu kecil dan sangat cocok untuk menyediakan pertahanan udara dan memperluas perlindungan udara armada yang beroperasi jauh dari pantai. “Liaoning tidak akan memungkinkan proyeksi jarak jauh mirip dengan kapal induk kelas Nimitz Amerika,” kata laporan itu.
Masalah mendasarnya adalah meskipun jika benar J-15 merupakan pesawat berperforma lebih baik dalam hal kinerja aerodinamis dibandingkan dengan Boeing F / A-18E / F Super Hornet Angkatan Laut AS, desain ski-jump yang digunakan di kapal induk memaksakan pesawat harus menemui pembatasan dalam hal payload senjata dan bahan bakar. “Ukuran yang lebih kecil Liaoning ini membatasi jumlah pesawat yang bisa dibawa, sedangkan konfigurasi ski-jump membatasi beban bahan bakar dan persenjataan,” lanjut laporan Pentagon itu. Dan bukan hanya laporan Pentagon yang menyebutkan hal semacam itu, China juga telah mengakui masalah ini. Mungkin yang paling jitu adalah mendesain kapal ini dengan sistem peluncuran ketapel uap ala Amerika.
China Bangun Kapal Induk BaruTetapi China diperkirakan akan membangun sejumlah kapal induk yang ke depan memungkinkan pesawat tempur mereka akan lebih mampu beroperasi. Dalam scenario seperti ini maka China akan memiliki armada yang jauh lebih mampu untuk menantang Angkatan Laut Amerika Serikat.
Tetapi Amerika sendiri membutuhkan waktu setidaknya satu decade untuk bisa membangun kapal seperti halnya kelas Nimitz atau Ford. Padahal negara ini telah memiliki pengalaman panjang dalam hal kapal induk. Sementara China, diakui atau tidak, belum memiliki pengalaman sama sekali dalam membuatnya. Bahkan kapal induk yang digunakan sekarang adalah kapal induk yang dibeli bekas yang secara struktural selesai di Krimea.
Bahkan jika China akhirnya bisa dengan berbagai cara memanfaatkan potensi penuh dari pesawat mereka memulai, itu bukan satu-satunya faktor untuk dipertimbangkan. Meski Analis militer Dave Majumdar dalam artikelnya di National Interest, Minggu 20 September 2015 menyebutkan, Super Hornet mungkin bukan jet tercepat atau yang paling bermanuver di langit, pesawat ini memiliki sensor dan avionic yang sangat baik. Lebih penting lagi, Super Hornet Angkatan Laut AS tidak berjuang sendirian. Sebuah sayap kapal induk modern bekerja sebagai tim terpadu. Terlebih ketika konsep Naval Integrated Fire Control—Counter Air (NIFC-CA) nanti akan operasional.
Dengan NIFC-CA, Super Hornets, EA-18G Growler, E-2D Advance Hawkeyes, kapal perusak Aegis, kapal penjelajah dan aset lain akan bekerja penuh sebagai sebuah tim yang melihat gambar yang sama. Itu berarti dari cruiser Aegis dapat menembakkan rudal Standard SM-6 di atas cakrawala di luar garis-of-sight kapal dengan menggunakan data dari E-2D. Contoh lain mungkin Super Hornet meluncurkan Long Range Anti-Ship Missile (LRASM) pada kapal perusak type 052D China berdasarkan elips yang dihasilkan oleh penerbangan EA-18G yang menggunakan perbedaan waktu kedatangan untuk melakukan pelacakan posisi kapal musuh.
Intinya bahwa China mungkin memang mengembangkan sebuah kapal induk, mungkin mengembangkan sayap udara dan bahkan mungkin mengembangkan kelompok pertempuran yang akan pergi ke laut dengan flattop. Tetapi itu hanya sekitar hardware. Ini akan memakan waktu untuk Angkatan Laut China sampai ke tingkat kompetensi di mana ia dapat memiliki kesempatan nyata untuk unggul jika head-to-head dengan Angkatan Laut AS di Pasifik Barat. Apakah mereka akhirnya sampai di sana? Mungkin, tapi mungkin butuh beberapa dekade.
Sumber : Jejak Tapak