Ini Dia Lokasinya
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) beberapa waktu lalu melakukan eksplorasi mineral radioaktif (bahan galian nuklir) di beberapa daerah di Indonesia. Hasilnya, ditemukan sejumlah potensi uranium di beberapa tempat.
Sebelumnya, temuan potensi mineral uranium telah ditemukan BATAN berada di daerah Kalan, Melawi, Kalimantan Barat.
Selain Kalan, ada beberapa daerah yang potensial lainnya memiliki kandungan uranium, seperti di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, Sibolga Sumatera Utara, dan Biak Papua. BATAN menghitung besaran potensi uranium di Indonesia mencapai 7.000 ton.
"Kandungan total potensi di Indonesia 7.000 ton. Adanya di berbagai macam tempat ada di Mamuju, Kalan, Papua, dan yang lainnya. Yang sudah pasti jelas ada di Kalan," terang Kepala Pusdiklat Batan Sudi Ariyanto saat dihubungi detikFinance, Jumat (29/4/2016).
Dalam mencari potensi uranium di Indonesia, BATAN juga dibantu instansi lain yang juga membantu memetakan potensi uranium di Indonesia.
"Ada pusat khusus yang membahas itu namanya Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir. Menangani masalah pencarian potensi uranium dan memetakan Indonesia," ucap Sudi.
Mengingat adanya proses olahan barang tambang uranium yang panjang, BATAN masih terus melakukan kajian dan penelitian terkait untuk pengembangan salah satu bahan bakar nuklir tersebut.
"Ini kan seperti batu-batuan, batuan tambang. Uranium itu ada di dalam batuan nanti diproses jadi bubuk kuning disebut yellowcake kemudian baru diproses lagi menjadi bahan bakar nuklir," jelas Sudi.
Pihaknya berharap pemanfaatan uranium yang ada di Indonesia nantinya bisa dikembangkan lagi. Sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh orang banyak, terutama untuk bahan bakar nuklir.
"Harapannya nanti bisa diketahui lebih pasti lagi berapa jumlahnya. Sampai sekarang belum ada rencana dieksploitasi, masih eksplorasi penelitian," imbuh Sudi.
Cocok Jadi Lokasi PLTN
Listrik dari tenaga nuklir di Indonesia masih menjadi pro dan kontra. Meski begitu, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), sempat melakukan beberapa kajian terkait lokasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia.
BATAN telah menemukan beberapa daerah yang berpotensi untuk dibangun PLTN, seperti di Pulau Bangka.
"Kalau yang dilakukan sekarang ini kan BATAN tidak boleh mengoperasikan komersial. Yang dilakukan BATAN adalah mencari lokasi. Di Bangka itu sudah dilakukan penelitian tempatnya yang bisa dipakai, satu di Bangka Barat satunya di Bangka Selatan," jelas Kepala Pusdiklat Batan sudi Ariyanto saat dihubungi detikFinance, Jumat (29/4/2016).
Tak berhenti di situ, BATAN juga menemukan daerah lainnya yang berpotensi untuk dibangun PLTN, yaitu Kalimantan. Pemilihan Kalimantan didasarkan pada letak geografisnya yang aman dari potensi genpa, ditambah lagi adanya temuan potensi uranium di Kalan, Kalimantan Barat.
"Kalimantan bagus juga geologinya, karena dia termasuk daerah yang stabil kemudian kejadian kegempaannya relatif lebih kecil," tutur Sudi.
Namun, apabila potensi uranium tidak mencukupi di kedua wilayah tersebut, BATAN akan mengusahakan untuk mendapatkan pasokan dari daerah lain di Indonesia yang sampai saat ini masih terus diteliti.
"Kalau potensi tidak ditemukan ya bisa dipakai dari tempat yang lain. PLTN-nya digolkan dulu baru mikirin bahan bakarnya," imbuh Sudi.
Sampai saat ini BATAN masih terus berupaya mencari alternatif energi dari nuklir yang kemudian dapat digunakan sebagai bahan bakar PLTN.
PLTN di RI Masih Sebatas 'Buku Putih'
Kajian Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) terkait potensi uranium di Indonesia telah dikirim ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), setelah beberapa waktu lalu lembaga ini menemukan potensi uranium di Kalan, Kalimantan Barat.
BATAN juga telah melakukan uji kelayakan lokasi apabila suatu saat akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Lokasi tersebut adalah Pulau Bangka.
Informasi terkait potensi uranium dan lokasi yang layak untuk pembangunan PLTN telah diberikan kepada Kementerian ESDM, namun masih hanya tercatat di atas kertas.
"Sudah disampaikan ke ESDM. Kalau follow up dari ESDM belum ada, baru sekadar membuat dokumen perencanaan buku putih," jelas Kepala Pusdiklat Batan, Sudi Ariyanto, saat dihubungi detikFinance, Jumat (29/4/2016).
BATAN dan Kementerian ESDM mendukung adanya alternatif energi baru seiring menipisnya bahan bakar fosil. Namun, energi nuklir menjadi alternatif energi terakhir yang dapat dikembangkan menjadi kendala tersendiri dalam penerapannya.
"Kalau dari ESDM atau BATAN sendiri, kami mendukung. Kalau UU Kebijakan Energi Nasional kan sampai sekarang masih menyatakan bahwa nuklir sebagai pilihan terakhir. Kalau masih ada yang lain, yang lain dikembangkan," tutur Sudi.
Pihaknya menambahkan, sedikitnya butuh waktu hingga 10 tahun dalam pembangunan PLTN. Kalau pun dapat direalisasikan, pembangunan PLTN dapat dimulai tahun 2017 mendatang sehingga manfaatnya baru dapat dirasakan di tahun 2027.
"Kalau membangun kan butuh waktu 10 tahun. Tapi juga nanti ada kajian juga yang menyebutkan tahun 2027. Kalau tahun 2027 berarti harus tahun depan, tapi masalah membangun atau tidak itu menjadi keputusan politis pemerintah," tutup Sudi. (wdl/wdl)
Jawaban Dewan Energi
Dewan Energi Nasional (DEN) meragukan hasil eksplorasi uranium yang dilakukan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). BATAN diminta memperjelas di mana saja tepatnya potensi uranium sebesar 7.000 ton tersebut berada.
"Potensi 7.000 ton itu perlu diperjelas ada di mana. Saya pernah mau mendatangi yang di Kalan itu, tapi kata BATAN sudah ditinggalkan, tidak ada orang lagi di sana," kata Anggota DEN, Rinaldy Dalimi, saat dihubungi detikFinance di Jakarta, Senin (2/5/2016).
Dia menambahkan bahwa potensi uranium di Kalan, Kalimantan Barat, bukan temuan baru. Potensi di sana telah lama diketahui dan sudah pernah diteliti bahwa tidak ekonomis untuk dikembangkan.
"Penemuan di Kalan itu sudah puluhan tahun lalu, tapi nggak ekonomis untuk dikembangkan," ujarnya.
Selain belum benar-benar akurat besaran dan lokasi potensi uranium di Indonesia, rencana untuk pengembangannya juga belum jelas. Dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dibuat pemerintah, energi nuklir adalah alternatif terakhir bila sumber-sumber energi lainnya tak bisa dikembangkan.
"Kita sudah tetapkan bahwa nuklir adalah pilihan terakhir, itu sudah disetujui DPR juga. Memang keputusannya tidak bulat, tapi kalau sudah ditetapkan maka yang tidak tidak setuju juga harus mengikuti," paparnya.
Daripada mengembangkan nuklir, sambung Rinaldy, lebih baik Indonesia mengembangkan sumber-sumber energi lain yang lebih murah dan ramah lingkungan, seperti panas bumi, air, angin, matahari, dan sebagainya.
"Kita masih punya banyak sumber energi lain yang lebih aman dan lebih murah," tutup Rinaldy.
Sebelumnya, BATAN mengaku beberapa waktu lalu melakukan eksplorasi mineral radioaktif (bahan galian nuklir) di beberapa daerah di Indonesia. Hasilnya, ditemukan sejumlah potensi uranium di beberapa tempat.
Sebelumnya, temuan potensi mineral uranium telah ditemukan BATAN berada di daerah Kalan, Melawi, Kalimantan Barat.
Selain Kalan, ada beberapa daerah yang potensial lainnya memiliki kandungan uranium, seperti di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, Sibolga Sumatera Utara, dan Biak Papua. BATAN menghitung besaran potensi uranium di Indonesia mencapai 7.000 ton.
Tak Punya Teknologinya
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) beberapa waktu lalu melakukan eksplorasi mineral radioaktif (bahan galian nuklir) di beberapa daerah di Indonesia. Hasilnya, ditemukan sejumlah potensi uranium di beberapa tempat.
Sebelumnya, temuan potensi mineral uranium telah ditemukan BATAN berada di daerah Kalan, Melawi, Kalimantan Barat.
Selain Kalan, ada beberapa daerah yang potensial lainnya memiliki kandungan uranium, seperti di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, Sibolga Sumatera Utara, dan Biak Papua. BATAN menghitung besaran potensi uranium di Indonesia mencapai 7.000 ton.
Tapi sayangnya potensi itu belum bisa dimanfaatkan karena Indonesia tidak menguasai teknologi untuk membuat uranium tersebut aman digunakan dan ekonomis harganya.
"Jangan cepat-cepat bangun PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir), sampai sekarang BATAN belum siap. Kita tidak menguasai teknologinya agar itu murah dan aman," kata Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldy Dalimi, kepada detikFinance di Jakarta, Senin (2/5/2016).
Rinaldy menjelaskan, penggunaan uranium pasti akan menimbulkan radiasi. Perlu teknologi tinggi untuk mengolah polusi radioaktif yang ditimbulkan uranium menjadi tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan sekitar.
Bila ingin mengembangkan PLTN berbahan bakar uranium di Indonesia, BATAN harus menguasai dulu teknologi yang membuat uranium aman dan murah.
"BATAN harus kuasai teknologinya dulu, itu yang kita minta di RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). Kita minta teknologi yang membuat itu (uranium) tidak berbahaya, kita tunggu lah," tukasnya.
Selain itu, penggunaan uranium juga tidak ekonomis, rata-rata harga listrik dari PLTN mencapai di atas US$ 15 sen/kWh atau sekitar Rp 1.950/kWh (dengan asumsi kurs dolar Rp 13.000), jauh lebih mahal dibanding listrik dari batu bara dan banyak sumber energi lain.
"Harga energi nuklir itu tidak murah lagi. BATAN dan PLN sudah feasibility studies (FS) di Indonesia harganya US$ 12 sen/kWh belum termasuk biaya untuk pengolahan limbah radioaktif dan decommisioning setelah PLTN tidak digunakan lagi," paparnya.
Karena itu, pemerintah menetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) bahwa nuklir adalah pilihan terakhir. "Kita masih punya banyak sumber energi lain yang lebih aman dan lebih murah," tutup Rinaldy.
Uranium Mahal dan Berbahaya, Lebih Baik Pakai Sumber Energi Lain
Indonesia punya potensi uranium yang tinggi. Meski demikian, Kebijakan Energi Nasional (KEN) menjadikannya sebagai sumber energi pilihan terakhir. Uranium maupun jenis-jenis nuklir lainnya dinilai berbahaya karena menimbulkan radiasi.
Indonesia pun masih kaya akan sumber-sumber energi alternatif lain seperti panas bumi, air, angin, matahari, dan sebagainya. Sumber-sumber energi tersebut lebih diprioritaskan pengembangannya dibanding nuklir.
"Kita berbeda dengan negara seperti Korea dan Jepang yang tidak punya banyak kekayaan sumber energi. Kalau mereka mengembangkan nuklir karena memang tidak punya banyak pilihan. Kalau kita masih punya banyak sumber energi lain yang lebih aman dan lebih murah," kata Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldy Dalimi, saat dihubungi detikFinance, Senin (2/5/2016).
Dia menambahkan, penggunaan uranium pasti akan menimbulkan radiasi. Perlu teknologi tinggi untuk mengolah polusi radioaktif yang ditimbulkan uranium menjadi tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan sekitar.
Menurut perhitungannya, penggunaan uranium juga tidak ekonomis, rata-rata harga listrik dari PLTN mencapai di atas US$ 15 sen/kWh atau sekitar Rp 1.950/kWh (dengan asumsi kurs dolar Rp 13.000), jauh lebih mahal dibanding listrik dari batu bara dan banyak sumber energi lain.
Bila ingin mengembangkan PLTN berbahan bakar uranium di Indonesia, BATAN harus menguasai dulu teknologi yang membuat uranium aman dan murah.
"BATAN harus kuasai teknologinya dulu, itu yang kita minta di RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). Kita minta teknologi yang membuat itu (uranium) tidak berbahaya, kita tunggu lah," tukasnya.
Sebelumnya, BATAN mengaku beberapa waktu lalu melakukan eksplorasi mineral radioaktif (bahan galian nuklir) di beberapa daerah di Indonesia. Hasilnya, ditemukan sejumlah potensi uranium di beberapa tempat.
Potensi mineral uranium telah ditemukan BATAN berada di daerah Kalan, Melawi, Kalimantan Barat.
Selain Kalan, ada beberapa daerah yang potensial lainnya memiliki kandungan uranium, seperti di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, Sibolga Sumatera Utara, dan Biak Papua. BATAN menghitung besaran potensi uranium di Indonesia mencapai 7.000 ton.
Tak Ada Daerah Aman untuk PLTN di RI, Termasuk Pulau Bangka
Kajian Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) terkait potensi uranium di Indonesia telah dikirim ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), setelah beberapa waktu lalu lembaga ini mengaku menemukan potensi uranium di Kalan, Kalimantan Barat.
BATAN juga telah melakukan uji kelayakan lokasi apabila suatu saat akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Lokasi tersebut adalah Pulau Bangka.
Tapi hasil kajian BATAN ini dibantah oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Anggota DEN, Rinaldy Dalimi, menyatakan bahwa tidak ada 1 pun daerah di Indonesia yang aman untuk PLTN. Alasannya, tidak ada daerah yang benar-benar bebas gempa di Indonesia.
"Kita ini berada di daerah rawan gempa. Di Bangka dan Kalimantan pun sudah ada gempa, tidak ada daerah yang aman untuk PLTN di Indonesia," kata Rinaldy kepada detikFinance, Senin (2/5/2016).
Dia juga mengkritisi hasil eksplorasi uranium yang dilakukan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). BATAN diminta memperjelas di mana saja tepatnya potensi uranium sebesar 7.000 ton tersebut berada.
"Potensi 7.000 ton itu perlu diperjelas ada di mana. Saya pernah mau mendatangi yang di Kalan itu, tapi kata BATAN sudah ditinggalkan, nggak ada orang lagi di sana," Rinaldy menuturkan.
Potensi uranium di Kalan, Kalimantan Barat, disebutnya bukan temuan baru. Potensi di sana telah lama diketahui dan sudah pernah diteliti bahwa tidak ekonomis untuk dikembangkan.
"Penemuan di Kalan itu sudah puluhan tahun lalu, tapi nggak ekonomis untuk dikembangkan," ujarnya.
Selain belum benar-benar akurat besaran dan lokasi potensi uranium di Indonesia, rencana untuk pengembangannya juga belum jelas. Dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dibuat pemerintah, energi nuklir adalah alternatif terakhir bila sumber-sumber energi lainnya tak bisa dikembangkan.
"Kita sudah tetapkan bahwa nuklir adalah pilihan terakhir, itu sudah disetujui DPR juga. Memang keputusannya tidak bulat, tapi kalau sudah ditetapkan maka yang tidak tidak setuju juga harus mengikuti," tutup Rinaldy.(ang/ang)
Sumber : abarky