Pemerintah Rusia berulang kali menyebutkan bahwa terkait kerja sama teknis-militer, negara-negara Asia, terutama Tiongkok dan India, merupakan mitra nomor satu Rusia. Saat ini, Rusia juga menjalin kontrak dengan sejumlah negara lain di wilayah tersebut untuk memasok pesawat tempur, sistem pertahanan udara, kapal selam, serta senjata lainnya.
Wilayah Asia memimpin dari segi peningkatan anggaran belanja saat ini, dan pasar raksasa bagi ekspor senjata telah dibuka di negara-negara tersebut.
“Ketertarikan negara-negara Asia dapat dijelaskan oleh fakta bahwa angkatan bersenjata mereka sudah akrab dengan senjata kami, dan kampanye Suriah menunjukkan efektifitas mereka dalam pertempuran nyata. Hal ini terutama bisa diterapkan untuk pesawat, kapal selam dengan rudal jelajah, serta sistem pertahanan,” kata Igor Korotchenko, Pemimpin Redaksi Majalah National Defense. Ketertarikan terhadap jet tempur Su-35S dan senjata lainnya meningkat secara signifikan. Artinya, akan ada perluasan kontrak yang sudah ada dan penandatanganan kontrak-kontrak baru.
Pada September lalu, Kementerian Pertahanan Indonesia mengumumkan rencananya untuk membeli satu skuadron jet tempur Su-35 untuk menggantikan pesawat Amerika F-5 Tiger yang telah usang, yang kini sudah menginjak usia lebih dari 40 tahun. Pada awal April, perwakilan pejabat tinggi Indonsia datang ke Moskow untuk membicarakan pengiriman pesawat tersebut ke Angkatan Bersenjata Indonesia.
Menurut Bloomberg, kedua pihak membicarakan pembelian delapan hingga sepuluh Su-35S. Berdasarkan informasi terbaru terkait pembelian Su-35S oleh Indonesia, Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo akan menyaksikan kesepakatan pembelian pesawat tempur canggih tersebut dalam kunjungannya ke Sochi, Rusia, untuk menghadiri pertemuan KTT Rusia-ASEAN.
Dalam beberapa tahun belakangan, Indonesia sudah membeli sepuluh helikopter transport Rusia Mi-17, lima helikopter serang Mi-35P, dan 20 kendaraan tempur infanteri BMP-3F.
Negeri Tirai Bambu ini merupakan negara pertama yang memesan empat divisi sistem misil antipesawat S-400 Triumph.
“Tiap divisi bisa terdiri dari empat hingga delapan peluncur S-400 terpisah ditambah beberapa kendaraan pengangkutnya, dua stasiun radar, serta puluhan kendaraan pendukung. Secara keseluruhan, perangkat aktif dan pendukung yang tercakup dalam kontrak ini bisa mencapai 300 unit,” kata Korotchenko kepada RBTH.
Menurut pakar militer Rusia, sistem pertahanan ini terbilang unik dalam segmennya, yang tak ada duanya di dunia. “Kompleks ini mampu menghancurkan semua sistem serangan udara yang ada dan yang baru dikembangkan saat ini, baik itu misil ‘udara-ke-permukaan’ dan ‘permukaan-ke-permukaan’, maupun pesawat musuh potensial, kata Vadim Kozyulin, profesor di Akademi Ilmu Militer.
Selain itu, setelah negosiasi panjang, Rusia dan Tiongkok menandatangani kontrak pengiriman 24 jet tempur multiperan generasi ke-4++, Su-35. Kontrak ini diperkirakan bernilai dua miliar dolar AS
Tiongkok juga menjadi negara pertama yang mendapat pasokan pesawat tempur terbaru Rusia.
Kepada mitra terbesar Rusia yang satu ini, ekspor senjata dan perangkat militer Negeri Beruang Merah saat ini mencapai lebih dari 4,5 miliar dolar AS.
Dalam pameran senjata Defexpo India 2016, Moskow telah menyiapkan nota draf kesepakatan untuk memasok sistem misil antipesawat S-400 Triumph ke India. Berdasarkan laporan media, nilai kesepakatan ini dapat mencapai enam miliar dolar AS.
Sebelumnya, kontrak termahal yang ditandatangani kedua negara ialah pembelian pengangkut pesawat India Vikramaditya pada 2013. Nilai kontrak tersebut awalnya 974 juta dolar AS, tapi membengkak menjadi 2,33 miliar dolar AS.
Selain itu, beberapa tahun lalu, India menandatangani kontrak baru untuk memasok 124 tank siap-rakit T-90S senilai 1,24 miliar dolar AS. Pada akhir 2013, pemerintah India menyetujui pembelian 235 tank beserta suku cadangnya.
Dalam wawancara dengan Interfax, Vladimir Kozhin, perwakilan kepresidenan di bidang kerja sama militer, menyebutkan bahwa rival utama Rusia di bidang ini masih Amerika Serikat.
Menurut Kozhin, kedua negara mengembangkan sistem modern secara paralel yang akan digunakan ‘esok dan lusa’. Kompetisi beberapa tipe senjata juga datang dari negara-negara Eropa Barat, seperti Prancis (aviasi) dan Jerman (senjata berat).
“Kita harus ingat, saat sebuah negara membeli senjata, mereka tak hanya membeli ‘perangkat keras’, tapi juga keuntungan politik,” kata Vadim Kozyulin, profesor di Akademi Ilmu Militer. Atas alasan tersebut, tak peduli betapa tertariknya si calon pembeli terhadap senjata buatan Rusia, mereka tak akan berpaling ke Moskow karena mereka tetap membutuhkan dukungan, misalnya, dari Amerika Serikat.
Sumber : RBTH