Ketika pertama kali Belanda menancapkan kukunya di Indonesia, dia tidak dalam bentuk tentara atau pemerintahan, tetapi menggunakan apa yang dikenal sebagai VOC. Pada akhirnya Serikat Dagang Belanda ini membangun imperium maritim terbesar di dunia dengan ibukota Batavia. Dan dari sinilah lahirnya Batavia-centris, di mana semua diukur untuk kepentingan Batavia. Menurut pandangan lokal hubungan menjadi bersifat eksploitatif, sedangkan menurut pusat sebagai upaya pengembangan wilayah jajahan. Pola hubungan tersebut kemudian menimbulkan kesenjangan, baik kekuasaan maupun kesejahteraan, akibatnya timbul berbagai ketegangan antara pusat dan daerah.
Setelah VOC bangkrut, dan digantikan pemerintah Hindia Belanda, sudah tidak memiliki kekuatan laut lagi. Pertahanan Hindia Belanda saat itu didasarkan pada pertahanan darat, yang sistemnya kemudian dipertahankan hingga pemerintah sekarang.
Padahal sistem pertahanan Indonesia sebagai negara maritim seharusnya menjadikan pertahanan laut sebagai kekuatan utama. Buktinya, pada 1812 saat dikurung oleh Inggris dari laut, dalam beberapa hari Hindia Belanda sudah menyerah. Waktu diserang oleh Jepang pada 1942 dalam beberapa hari juga takluk. Jadi, kalau diteruskan sampai sekarang jelas ada sebuah kekeliruan.
Sultan Agung, karena merasakan kehadiran VOC di Batavia sebagai ancaman keutuhan wilayahnya, maka Mataram mempersiapkan serangan besar-besaran ke Batavia. Meski serangan dua kali pada 1628 dan 1629 mengalami kegagalan, tetapi yang layak disimak adalah kemampuannya mengirim ekspedisi penyerangan. Puluhan ribu personel, ratusan perahu serta sekian ton perbekalan dan perlengkapan dapat dimobilisasikan oleh Mataram lewat laut, untuk kala itu jelas merupakan pekerjaan raksasa.
Tetapi setelah penetrasi kekuasaan VOC mematikan armada maritim yang dibangun oleh Sultan Agung, akhirnya Mataram kembali menjadi negara agraris pedalaman yang tidak lagi memiliki pelabuhan. Maka surutlah pula budaya maritim yang pernah dibangunnya, sehingga budaya agraris pun menjadi dominan lagi.
Di masa silam ketenaran meraungi lautan bukan barang baru bagi pelaut Nusantara. Misalnya orang Bugis dengan perahu layar Phinisinya atau masyarakat Biak Numfor dengan perahu dagang (Way Mansusu) dan perahu perang (Way Ron). Begitu pula orang-orang Buton yang berlayar berbulan-bulan di atas kapal kayu hasil karya mereka.
Dalam buku Negara Maritim dan Kekayaan Indonesia yang ditulis Profesor Baharudin Lopa dalam tulisannya berjudul ditegaskan munculnya Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan merupakan kekuatan maritim terkuat di Nusantara pada abad ke-17. Armadanya mampu melayari seantero Nusantara, bahkan ke Australia, Kampuchea dan Madagaskar. Armada Gowa juga membantu orang-orang Solor di Maomere mengusir Portugis, serta memberantas pembajakan di laut.
Sejarah tersebut adalah cermin jernih dan referensi terpercaya untuk melakukan suatu perubahan dengan mencoba merestorasi kerjayaan bahari masa silam, guna membangun masa depan Indonesia yang gemilang. Semangat dan keterampilan bahari yang pernah menjadi kebanggaan bangsa Indonesia perlu digali dan dikembangkan kembali di kalangan generasi muda, agar bangsa Indonesia mampu menjadi tuan di negeri bahari sendiri.
Saatnya Indonesia kembali mengembangkan layar untuk menjadikan laut sebagai sebuah sumber kehidupan sekaligus pusat kekuatan pertahanan. Tidak mudah, dan membutuhkan waktu panjang untuk bisa mencapainya. Yang jelas, butuh konsistensi dan tidak sekadar kata-kata tanpa arti.
Sumber : Jejak Tapak