Jerman diperkirakan akan menghadapi musuh yang lebih lemah. Hitler dan banyak di komando tinggi militer percaya bahwa sudah takdir Jerman untuk menyerang Rusia. “Akhir dominasi Yahudi di Rusia juga akan menjadi akhir dari Rusia sebagai sebuah negara,” kata Hitler dalam manifesto Mein Kampf.
Selama berbulan-bulan Jerman meraih kemenangan demi kemenangan gemilang. Tapi kemudian serangan itu terhenti dengan kemunculan tank baru Soviet yang membuat Wehrmacht tertegun.
Tank itu adalah T-34. Kendaraan lapis baja baru yang memiliki senapan 76-milimeter yang sangat baik dan baju besi tebal miring dan mampu melaju lebih dari 35 mil per jam. Tank ini memiliki banyak fitur desain canggih untuk ukuran kala itu dan yang pasti mampu meledakkan panser Jerman.
Tetapi T-34 memiliki masalah. Salah satunya buruknya visibilitas awak dan pengerjaan Soviet yang juga buruk. “Mereka yang baik, tapi mereka bukan senjata keajaiban dan mereka memiliki kelemahan,” tulis Philip Kaplan di buku di Rolling Thunder: A Century of Tank Warfare. “Tapi T-34 di tengah kelemahannya diakui sejumlah ahli tank dan sejarawan sebagai tank terbaik.”
Asal-usul dari T-34 yang cukup sederhana. Tentara Merah mencari pengganti dari tank kaveleri BT-7, yang bisa bergerak cepat dan lapis baja ringan untuk digunakan dalam manuver. Kendaraan ini juga memiliki suspensi Christie, salah satu alasan untuk peningkatan kecepatan tank.
Tetapi selama perang perbatasan dengan Jepang 1938-1939, BT-7 bernasib buruk. Bahkan dengan meriam tingkat rendah tank tipe 95 Jepang dengan mudah menghancurkan BT-7. Kru juga menyerang BT-7 dengan bom molotov yang mamu masuk ke ruang tank melalui celah antara baju besi yang dilas secara buruk.
T-34 adalah solusinya. Dengan terus menggunakan suspensi Christie tetapi mengganti mesin bensin dengan 2 mesin diesel V-34 V12 dan menawarkan kecepatan 10 mil per jam yang artinya lebih cepat dari Panzer III atau IV Panzer Jerman. Selanjutnya, meriam kecepatan tinggi T-34 mampu membunuh tank manapun di dunia pada saat itu.
“Pada tahun 1941 ketika Hitler meluncurkan Barbarossa, tank ini tidak disangka menjadi yang terbaik di dunia,” kata Jason Belcourt, seorang veteran Angkatan Darat AS sebagaimana dikutip War is Boring beberapa waktu lalu. “Kombinasi armor miring, meriam besar, kecepatan yang baik dan kemampuan manuver seluruhnya lebih baik dibandingkan tank Jerman.”
Pada pertengahan 1941, Uni Soviet memiliki lebih dari 22.000 tank atau lebih banyak dari jumlah tank gabungan di sluruh dunia dan empat kali jumlah tank di gudang Jerman. Pada akhir perang, Uni Soviet telah menghasilkan hampir 60.000 tank T-34.
Jerman Putus Asa Pada awalnya, orang Jerman bingung ketika mereka harus melawan T-34. Senjata anti-tank standar Jerman Kwk36 37-milimeter dan KWK 38 50-milimeter tidak bisa membuat tank in penyok. Hingga akhirnya Jerman hanya memiliki satu taktik terbatas. Tank Jerman bisa mencoba tembakan sayap dengan senjata mereka. Wehrmacht bisa meletakkan ranjau. Tentara mempertaruhkan nyawa mereka dengan melakukan serangan jarak dekat dengan bom molotov.Dalam situasi putus asa Jerman bahkan menggunakan dimodifikasi senjata anti-pesawat 88-milimeter untuk menghentikan T-34 dengan tembakan langsung.
Tetapi Rusia tidak sempat melatih awaknya dengan baik untuk mengendalikan T-34. Akibatnya banyak T-34 yang akhirnya juga rusak.
Dan ketika Soviet berhasil melatih krunya dengan lebih baik Jerman sudah memiliki tank baru dengan senjata kecepatan tinggi dan senjata anti-tank yang lebih baik seperti Panzerfaust, senjata anti-tank recoilless dengan hulu ledak ledak tinggi.
Tetapi Rusia memiliki lebih banyak T-34 dari Jerman. “Jumlah tank ini menjadi sangat menentukan,” kata Belcourt. “Dari Juni 1941 hingga akhir perang, Soviet selalu memproduksi tank yang sering baik dan tidak pernah lebih buruk dari cukup.”
Dan T-34 “tak dapat disangkal revolusioner, tapi itu bukan yang pertama dalam apa pun kecuali bagaimana menggabungkan baju besi miring tebal dengan mesin diesel, trek lebar dan besar, senjata yang relatif kuat,” kata Belcourt. “Mereka semua telah dilakukan sebelumnya, tapi memang tidak pernah bersama-sama.”
Sumber : Jejak Tapak