Pemerintahan Presiden Joko Widodo diharapkan terus meningkatkan upaya diplomasi terkait posisi Kepulauan Natuna di Provinsi Kepulauan Riau yang kini diklaim Tiongkok sebagai bagian dari yuridiksi Republik Rakyat China (RRC). Demikian pernyataan ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni, yang diterima redaksi Jurnal Maritim melalui surat elektroniknya, kamis kemarin (26/03/2015)
“Saya melihat, klaim RRC atas Kepulauan Natuna itu mirip dengan cara Australia mengklaim secara sepihak gugusan Pulau Pasir (ashmore reef) di selatan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur menjadi bagian dari yuridiksi negeri Kanguru,” katanya.
Tanoni menambahkan, Menko Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo boleh saja mengatakan bahwa posisi Kepulauan Natuna jauh dari Negeri Tirai Bambu, sehingga klaim atas kepemilikan pulau tersebut bagai jauh panggang dari api.
“Namun belajar dari kasus Pulau Pasir, yang letaknya dapat dicapai dengan perahu motor hanya dalam tempo empat jam dari Pulau Rote, namun tetap diklaim oleh Australia sebagai bagian dari yuridksinya. Padahal, jarak antara Pulau Pasir dengan Darwin di Australia Utara mencapai ratusan kilometer,” katanya mencontohkan.
Ia menambahkan jatuhnya beberapa pulau terdepan Indonesia ke tangan asing, sebagai bukti bahwa Indonesia lemah dalam melakukan komunikasi internasional dengan negara-negara lain, serta lemah melakukan diplomasi untuk mempertahankan keutuhan NKRI yang telah diklaim pihak asing sebagai bagian dari yuridiksinya.
Tanoni menilai, kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia serta lepasnya Timor Timur dari NKRI untuk kemudian membentuk diri sebagai sebuah negara merdeka, sebagai bentuk contoh lemahnya diplomasi Indonesia di fora internasional.
“Hampir 85 persen wilayah Laut Timor yang kaya dengan migas itu akhirnya dikuasai oleh Australia. Jika diplomasi pemerintahan kita lemah, bukanlah tidak mungkin Natuna jatuh ke dalam yuridiksi China seperti jatuhnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia,” kata Tanoni.
Catatan Jurnal Maritim, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada tahun 2009 secara sepihak menggambar sembilan titik ditarik dari Pulau Spratly di tengah Laut China Selatan, lalu diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya. Pemerintah Indonesia di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memprotes lewat Komisi Landas Kontinen PBB.
Garis putus-putus yang diklaim pembaruan atas peta 1947 itu membuat Indonesia berang. Padahal, RI sudah berencana menjadi penengah negara-negara yang berkonflik akibat Laut China Selatan. Klaim yang bikin repot enam negara ini dipicu kebijakan pemerintahan Partai Kuomintang (kini berkuasa di Taiwan) yang menafsirkan wilayah China mencapai 90 persen di Laut China Selatan.
Presiden Joko Widodo ketika diwawancarai Koran Yomiuri Shimbun menegaskan sembilan titik garis yang selama ini diklaim Tiongkok dan menandakan perbatasan maritimnya itu tidak memiliki dasar hukum internasional apapun.
Pada 1597, Kepulauan Natuna sebetulnya masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malaysia. Namun pada abad 19, Kesultanan Riau menjadi penguasa, pulau yang berada di jalur strategis pelayaran internasional tersebut di daftar ke PBB sebagai bagian dari yuridiksi Indonesia pada 18 Mei 1956.
Sebuah kajian ilmiah dari Malaysia menyebutkan Natuna secara sah seharusnya milik negeri Jiran. Namun, untuk menghindari konflik lebih panjang setelah era konfrontasi pada 1962-1966, maka Malaysia tidak menggugat status Natuna.
Lepas dari klaim sejarah tersebut, Indonesia sudah membangun pelbagai infrastruktur di kepulauan seluas 3.420 kilometer persegi ini. Etnis Melayu jadi penduduk mayoritas, mencapai 85 persen, disusul etnis Jawa 6,34 persen, lalu Tionghoa 2,52 persen. Jurnal “The Diplomat” pada 2 Oktober 2014 sudah meramalkan konflik terbuka antara China-Indonesia akan muncul cepat atau lambat terkait klaim kepemilikan atas Natuna.
Sumber : Jurnal Maritim