Madiun - Gejala aquaplanning, serupa yang terjadi pada kendaraan roda empat di jalan tergenang air, dapat terjadi pada pesawat terbang akibat deposit karet di bekas pendaratan dan lepas landas pada landasan pacu lapangan terbang, demikian keterangan TNI AU.
Hal itu diingatkan Kepala Keselamatan Penerbangan dan Kerja Pangkalan Utama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) Iswahyudi di Madiun, Jawa Timur, Mayor Penerbang Abdul Haris, saat pembahasan keselamatan penerbangan.
Dalam kegiatan di gedung Air Combat Maneuvering Instrumentation (ACMI) yang diikuti seluruh penerbang dan pejabat pangkalan utama TNI AU itu, Dinas Penerangan TNI AU, di Jakarta, Jumat, mengutip Abdul Haris bahwa deposit karet bekas ban di permukaan landas pacu merupakan ekses yang tidak bisa dihindarkan.
Oleh karena itu, ia mengemukakan, pembersihan berkala landas pacu harus dilakukan. Jika dibiarkan, menurut dia, maka dapat meningkatkan risiko hidroplanning, sehingga ban pesawat terbang yang mendarat atau lepas landas seolah diambangkan dan tidak "menggigit" landasan.
Cara membersihkan deposit karat itu, dikatakannya, ada lima cara berupa menyemprotkan air bertekanan tinggi dan ekstra tinggi, memakai bahan-bahan kimia, menggosok menggunakan alat khusus, dan "pengupasan" secara mekanis.
Pada pertemuan itu, pihak TNI AU juga membahas cara meminimalkan efek gangguan pendengaran bagi personel.
Personel di lapangan terbang dapat terganggu pendengarannya, bila suara reaktor mesin saat diam (idle), berjalan menuju/dari landas pacu (taxi), ataupun lepas landas dan mendarat yang berada pada angka desibel (dB) sangat tinggi berlangsung lama.
Oleh karena itu, personel bersangkutan harus memakai pelindung telinga yang disebut ear plug dan ear muff, secara bersamaan, terutama di lingkungan kerja di sekitar pesawat tempur yang memiliki tingkat kebisingan sangat tinggi di atas 130 dB sebagai persyaratan penting.(Sumber : Antara)