Jakarta - Indonesia produk kedirgantaraan kebanggaan bangsa, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) saat ini sudah memasuki tahun ke 36.Langkah sejarah perusahaan strategis ini mengalami fase yang membanggakan sekaligus mengharukan pada saat memulai produksi pesawat komersial N250 turboprop berkapasitas 50-70 penumpang dan mengembangkan jet N2130 berkapasitas 100-130 penumpang. Pada saat yang sama, ’’ultimatum’’ IMF pada saat krisis finansial (tahun 1998) memaksa industri kedirgantaraan kita bertekuk lutut pada donatur berwajah kapitalis.
Sekadar catatan, pesawat penumpang N250, yang dijuluki Gatot Kaca, terbang perdana pada 10 Agustus 1995, dan tanggal ini dijadikan sebagai Hari Teknologi Nasional.
Cerita pendirian Nurtanio diawali dengan kedatangan BJ Habibie bersama 17 insinyur dari Jerman dengan restu Dirut Pertamina dan panggilan pulang Presiden Soeharto tahun 1975 untuk bekerja di ATP (Advance Technology Pertamina). Sementara itu, di Bandung sudah ada Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio. Atas restu Pak Harto, Habibie diperkenankan membuat industri pesawat terbang berskala internasional, lalu ATP dan Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio digabung dan diresmikan 23 Agustus 1976.
Dalam langkah perjalanannya, Nurtanio kemudian berganti baju menjadi PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) tahun 1986, kemudian ganti baju lagi menjadi PT DI (Dirgantara Indonesia) tahun 2000.
Pada saat ganti baju yang terakhir itu, perseroan ini sedang mengalami goncangan hebat sebagai akibat ultimatum IMF tadi. Tidak ada kucuran dana segar dari pemerintah. Lalu tahun 2003 PT DI melakukan PHK massal kepada ribuan karyawannya. Tercatat waktu itu ada 16 ribu karyawan dikurangi menjadi hanya 4000 karyawan saja.
Kebangkitan
Tanggal 4 Oktober 2011 adalah penanda kebangkitan yang signifikan bagi sebuah industri teknologi tinggi PT DI, karena sahabat lamanya, CASA Spanyol, melalui bendera Airbus Military yang dimiliki European Aeronautic Defense and Space (EADS) melakukan ’’pernikahan kembali’’ dengan memproduksi bersama pembuatan pesawat angkut militer NC 295.
’’Pernikahan pertama’’ adalah kerja sama dalam memproduksi CN235. Kerja sama dengan Airbus Military ini akan memproduksi minimal sembilan pesawat angkut militer berkapasitas 71 pasukan atau 49 penerjun payung. Diproduksi secara paralel, enam di antaranya dibuat di pabrik pesawat terbang milik Airbus Military di San Pablo Spanyol, dan tiga unit lagi diproduksi di Bandung.
Sangat terbuka kemungkinan PT DI memproduksi lebih banyak NC295 untuk pasar Asia Pasifik.
Pesawat NC295 merupakan pengembangan dari CN235, punya kesanggupan membawa beban 9,2 ton sehingga masuk kategori medium military lift, badannya diperpanjang 3 meter, sementara sayapnya tetap sama dan diperkuat dengan mesin PW127G turboprop buatan Pratt &Withney. Kekuatannya satu setengah kali CN235.
Data CASA menunjukkan, NC295 lebih irit bahan bakar dan perawatan dan sanggup terbang dengan daya jelajah 5.300 km dengan kapasitas bahan bakar 4,5 ton.
Kemhan memesan sembilan unit pesawat jenis ini untuk memperkuat skuadron angkut sedang dalam mobilitas rotasi pasukan dan penanggulangan bencana alam.
Pesanan Kemhan ini membuat PT DI menggeliat dan bergairah, setelah sebelumnya tanggal 26 Mei 2011 melalui program penyertaan modal negara (PMN) dengan persetujuan Komisi VI DPR, perusahaan ini digelontor dana konversi sebesar Rp 3,8 triliun untuk memperbaiki posisi neraca keuangan. Rincian PMN itu adalah 1,42 triliun untuk konversi utang dan 2,38 triliun untuk penyertaan modal sementara.
Suntikan dana ini mampu menyegarkan wajah permodalan perseroan dari sebelumnya defisit 707 miliar rupiah menjadi plus 617 miliar.
Bulan Mei 2011, PT DI berhasil melakukan pengiriman pesawat produksinya CN235 jenis angkut militer VIP ke Senegal dengan nilai kontrak 13 juta dolar AS. Pesawat ini merupakan modifikasi dari CN 235 milik Merpati. Modifikasi yang dilakukan adalah dengan mengubahnya menjadi tipe pesawat militer, menganti mesin untuk menambah daya angkut dan penambahan sistem auto pilot TCAS.
Ini adalah ekspor pertama sejak tahun 2008, di mana selama itu PT DI tidak mampu melakukan ekspor pesawat produksinya meskipun yang diekspor itu pesawat second yang diperbarui.
Setelah ekspor ke Senegal, PT DI juga kembali mengirimkan dua CN235 tipe patroli maritim yang dipesan angkatan laut Korea Selatan. Korea Selatan memesan empat unit CN 235 patroli maritim yang dilengkapi dengan alat pendeteksi kapal, migrasi ikan, polusi tumpahan minyak dengan nilai kontrak 94 juta dolar AS. Semuanya akan diselesaikan tahun ini.
Khusus dengan Korsel, PT DI ke depan diprediksi akan mendapat tambahan order CN 235 atau NC295 dalam jumlah banyak sehubungan dengan adanya kerja sama pertahanan yang erat antara RI dan Korsel. RI banyak memesan alutsista dari Korsel, antara lain 16 jet latih tempur T50 Golden Eagle, pengadaan 3 kapal selam kelas Changbogo, upgrade dua kapal selam dan lain-lain.
Selama ini, negeri ginseng itu sudah mengunakan 15 unit pesawat CN 235 buatan PT DI untuk keperluan operasi militernya.(Sumber : Suara Merdeka)