Prajurit antiteror turun dari helikopter MI 17 menggunakan motor trail dalam aksi penyergapan teroris dan pembebasan sandera pada latihan gabungan Kopassus TNI AD-SASR Australia di Bandara Ngurah Rai, Bali, Selasa (28/9). Simulasi dengan sandi "Dawn Komodo-10" itu melibatkan 50 anggota Kopassus dan 20 anggota SASR didukung 230 anggota Kodam IX/Udayana dan PT Angkasa Pura I.
oleh : René L Pattiradjawane
Ada kesalahan fatal ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (5/10), dalam pengantar sidang kabinet paripurna di Jakarta meminta Kepolisian Negara Republik Indonesia menggandeng pasukan elite semua matra Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi gangguan kejahatan terorisme. Ini menjadi persoalan pemerintah, yang tak bisa membedakan masalah kejahatan, keamanan, dan pertahanan.
Ketidakmampuan pejabat di bawah Presiden Yudhoyono untuk menghasilkan kebijakan yang tepat menyebabkan kebijakan yang digelar pun tak efektif untuk bisa mencegah terjadinya terorisme. Menggabungkan kekuatan Polri dan TNI dalam persoalan ini menyalahi asas mendasar masyarakat madani yang tertib sipil dan membawa situasi kembali ke masa Orde Baru.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang baru dibentuk tidak memiliki otoritas untuk menggerakkan kekuatan militer tanpa perintah langsung Panglima Tertinggi TNI yang melekat pada presiden. Dalam tertib sipil, tidak mungkin BNPT menggerakkan kekuatan militer untuk melawan kejahatan karena kekuatan militer bukan untuk melawan kejahatan dan perkara pidana.
Pengertian awal dari pemerintahan pascareformasi tentang terorisme adalah kejahatan luar biasa tindak pidana teror. Persoalan ini menjadi ranah hukum dan logis ditangani kepolisian melalui unit yang dibentuk dengan nama Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
Tidak ada celah bagi militer untuk masuk ke dalam ranah hukum karena tidak sesuai dengan tertib sipil dengan parameter penegakan hukum. Menempatkan satuan militer dari tiga matra di bawah BNPT sebagai pengguna, mencampuradukkan kekacauan antara memiliterkan polisi seperti yang sekarang terjadi dengan menembak mati orang yang diduga teroris dan memolisikan militer yang menjauhi tugas pokok mempertahankan negara.
Hanya satu
Apa pun pilihan yang dilakukan, ego satuan antiteror masih terlalu besar sehingga sulit untuk mencari perbedaan antara kejahatan dan terorisme. Dilihat dari kacamata hukum, kejahatan luar biasa (extra-ordinary) terorisme, kita juga bisa menyebutnya kejahatan dengan motif politik, seharusnya menempati kacamata yang sama dengan kejahatan pemerkosaan dengan motivasi seksual.
Ketika kita melakukan aksi melawan terorisme masih dalam lingkup menanggulangi, bukan memerangi, melibatkan satuan TNI dalam tertib sipil hanya ada pada Panglima Tertinggi TNI dengan presiden sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat hasil pemilihan umum.
Pada sisi lain, kita sering lupa ada perbedaan signifikan antara pasukan elite dan pasukan khusus. Di mana pun yang disebut sebagai pasukan khusus di lingkungan angkatan bersenjata hanya ada satu dan di lingkungan TNI namanya Komando Pasukan Khusus TNI.
Dalam konteks penanggulangan terorisme di Indonesia, harus dipahami adanya batas kemampuan unit antiteror, termasuk Densus 88 yang seharusnya menjalankan fungsi kepolisian yang harus menangkap penjahat terorisme, bukan membunuhnya. Selama ini harus diacungi jempol pekerjaan yang dilakukan Densus 88, tetapi perlu juga dievaluasi lingkup pekerjaan yang menjadi batas kemampuan sebuah tindak kejahatan terorisme.
Batas kemampuan itu setidaknya harus diukur pada empat muatan: sasaran, persenjataan, perangkat, dan fasilitasi keadaan (seperti menggunakan sistem perbankan untuk pemutihan, money laundering). Dalam lingkup ini, penggunaan persenjataan Densus 88 seharusnya sesuai dengan tugas kepolisian, menggunakan persenjataan yang digunakan polisi umumnya untuk menangkap penjahat.
Tak serta-merta
Di lingkungan militer, penggunaan pasukan khusus TNI dan pasukan elite kematraan tak bisa serta-merta menjadi sebuah kekuatan bersama memberantas aksi terorisme seperti layaknya memberantas kejahatan narkoba. Kekuatan militer harus disatukan dalam gabungan operasi pasukan khusus dengan tugas kemiliteran spesifik memberantas terorisme.
Upaya ini termasuk membentuk gabungan pasukan khusus di tingkat regional karena ancaman terorisme yang asimetris juga melibatkan banyak warga negara asing. Dalam pemahaman ini, upaya yang dilakukan oleh BNPT untuk mengakomodasi pasukan khusus dan pasukan elite di lingkungan TNI menjadi tidak efektif dalam melanggar asas ketertiban sipil.
Keterpaduan dalam sinkronisasi, koordinasi, sinergi, dan koordinasi horizontal seharusnya pada tahapan pengumpulan informasi dan intelijen sehingga pengambil keputusan bisa memiliki perintah eksekutif menuntaskan perlawanan terhadap terorisme yang semakin lihai manusianya dan semakin canggih peralatannya.(Sumber : Kompas)


