Jakarta - Masih banyak agenda reformasi TNI yang  belum selesai. Untuk itu dibutuhkan penyelesaian di tataran konseptual,  legislasi, pelaksanaan, dan pengawasan.
Hal itu mengemuka dalam  diskusi yang diadakan Institute for Defence Security and Peace Studies  di Jakarta, Rabu (6/10). Pembicara dalam diskusi itu, antara lain, Ketua  Centre for Security and Defence Studies Kusnadi Kardi, Direktur  Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Rizal  Darma Putra, serta aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak  Kekerasan (Kontras), Haris Azhar.
Haris Azhar menyatakan, dari  sudut pandang Kontras, pekerjaan rumah terbesar adalah akuntabilitas.  TNI harus menjadi barang publik, dalam arti ada transparansi dan  pengawasan, terutama dalam aspek kebijakan. Ia mencontohkan, terkait  dengan agenda reformasi peradilan militer, resistensi masih tinggi dari  Kementerian Pertahanan dan dari TNI.
”Dari DPR, yurisdiksi dari  pemberlakuan peradilan militer tidak berbasis individual, tetapi  berbasis kejahatannya. Jadi, kejahatan nonmiliter harus bisa diadili  dengan pidana umum,” kata Haris.
Masalah akuntabilitas ini juga  terkait dengan penyelesaian bisnis TNI dan pelibatan TNI dalam  penanggulangan terorisme. Walaupun Kementerian Pertahanan selalu  mewacanakan bahwa pengambilalihan bisnis militer berada di jalur yang  diinginkan, permasalahannya tidak sesederhana itu. ”Yang disentuh  Kementerian Pertahanan hanya bisnis legal. Padahal, kita semua tahu  bahwa yang lebih besar itu bisnis ilegalnya,” ujar Haris.
Oleh  karena belum tuntasnya masalah ini, Haris menganggap pelibatan TNI dalam  operasi penanggulangan terorisme masih prematur. Secara konsep hal ini  memang memungkinkan, tetapi secara kontekstual reformasi belum berjalan  sempurna. ”Manajemen, kesejahteraan, dan pembinaan masih belum bagus,  nanti malah akan menimbulkan pelanggaran lagi,” katanya.
Rizal  menyoroti konsep besar yang belum jelas dan begitu banyak kebijakan yang  tidak sinkron. Rizal mempertanyakan bagaimana RUU Komponen Cadangan  diajukan Kementerian Pertahanan. Padahal, yang dimaksud dengan ancaman  tidak didefinisikan dengan jelas. ”Siapa musuhnya?” katanya.
Kusnadi,  yang purnawirawan marsekal muda, menyoroti pentingnya pembuatan doktrin  terpadu trimatra. Menurut dia, berkaitan dengan konsep pertahanan  berlapis, harus dibuat juga doktrin terpadu trimatra TNI.
Ia  mengatakan, saat ini tidak muncul, misalnya, ahli intelijen udara dan  laut. Hal ini harus tampak pada organisasi dan juga pendidikan. ”Agar  perwira ada pemikiran yang integratif juga,” katanya.
Selain itu,  Kusnadi juga menyoroti perlunya penguatan industri pertahanan agar  kebutuhan alat utama sistem persenjataan dapat dipenuhi dari dalam  negeri. Pencapaian alat utama sistem persenjataan yang memenuhi  kebutuhan pokok minimum adalah sebuah kemutlakan.
Dari sisi  organisasi pun harus ada kejelasan atau kepastian supremasi sipil  terhadap militer yang tecermin dari posisi TNI dan Kementerian  Pertahanan. Hingga kini hal tersebut masih rancu.(Sumber : Kompas)
Agenda Reformasi TNI Belum Tuntas
Written By http://arsipardava.blogspot.com/ on Kamis, 07 Oktober 2010
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.


