Entah kebetulan atau tidak, keputusan China untuk mengerahkan sistem pertahanan udara HQ-9 ke Laut China Selatan bersamaan dengan digelarnya Singapura Airshow. Akibatnya rasa ketakutan semakin menyeruak di negara-negara Asia Tenggara dan akhirnya membuka lebar pasar bagi penjualan pesawat patroli maritime di wilayah ini.
Negara-negara di wilayah Laut China Selatan kemungkinan akan dipaksa untuk membuka dompet mereka lebih lebar dan berinvestasi dalam pesawat patroli maritim sebagai sarana mengawasi klaim teritorial Beijing.
“Bahkan negara-negara seperti Malaysia, yang memiliki hubungan hangat dengan Beijing, telah menjadi khawatir dengan klaim China ke Laut Cina Selatan,” kata Dan Darling, seorang regional analyst di Forecast International, sebuah perusahaan analisis pasar sebagaimana dikutip Defense News Minggu 21 Februari 2016.
“Kebutuhan untuk memperoleh aset pengumpulan intelijen, pengawasan dan peringatan dini dalam rangka melakukan kontrol terhadap ekonomi, keamanan dan teritorial sekarang telah menjadi penting di negara-negara seperti Filipina,” tambahnya.
China dan itu tetangga di Laut Cina Selatan telah mempertengkarkan pulau yang disengketakan selama beberapa dekade. Dan dalam beberapa waktu terakhir China makin agresif dengan melakukan pembangunan di sejumlah pulau yang dikonflikkan bahkan menempatkan sistem pertahanan udara yang semakin meningkatkan ketegangan situasi.
Angkatan bersenjata di seluruh wilayah ini terus berusaha untuk menutup kesenjangan kemampuan tetapi telah terhambat oleh kurangnya dana. Menurut Forecast International, permintaan senjata dari wilayah ini terus meningkat meski dana tetap jadi masalah.
Ketegangan dengan China mungkin mengubah pemikiran itu, sebagai eksekutif di sini melaporkan sejumlah besar permintaan informasi mengambang di sekitar wilayah tersebut.
Filipina, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Brunei dan Taiwan semuanya terlibat dalam sengketa wilayah dengan China di Laut China Selatan. Hampir semua memiliki rencana untuk pengadaan pesawat patroli maritime atau Maritime Patroli Aircarft (MPA).
Singapura saat ini masih mengopeasikan Fokker 50 tua juga tidak bisa mengesampingkan untuk memiliki platform ini, menurut Forecast International. Negara ini bahkan mungkin akan membeli P-8 Peseidon yang sanga canggih.
Saab juga menganggap kapal selam merupakan ancaman yang berkembang dan memperkirakan kawasan Asia Pasifik akan menjadi rumah bagi lebih dari 100 kapal selam pada tahun 2020.
Persaingan KetatDengan kondisi ini tidak mengherankan banyak pembicaraan di Singapura Airshow berputar sekitar pesawat patroli maritim dan anti-kapal selam. Seperti biasa, sebagian besar pembicaraan yang terjadi di balik pintu tertutup, meskipun Saab membuat pengumuman publik dengan meluncurkan dua program baru.
Perusahaan Swedia memilih Singapura untuk mengumumkan platform MPA mereka dengan peluncuran pesawat MPA bemesin turboprop dan jet menggunakan sistem misi Swordfish yang terpasang pada versi modifikasi dari pesawat Q400 dan jet bisnis Global 6000.
Berbekal sonobuoys, Saab juga membawa rudal ringan anti kapal RBS-15. Sementara Global 6000 akan menjadi versi mini dari P-8 yang berbasis pada Boeing 737.
Perusahaan juga memberikan rincian lebih lanjut tentang pesawat peringatan dini dan kontrol (AEW), yang merupakan bagian dari kesepakatan peluncuran dengan Uni Emirat Arab akhir tahun lalu. Selain AEW, sistem, dikenal sebagai GlobalEye, secara bersamaan dapat melakukan pengawasan darat dan maritim.
Persaingan sangat ketat terjadi di sektor MPA. Misalnya, Elbit dan L-3 yang keduanya juga mengembangkan dari Q400. Selain itu Elbit Israel juga sedang mengembangkan Bombardier 5000 MPA yang akan head to head dengan produk Saab.
Dari raksasa industri seperti Boeing, Airbus dengan CN-235 dan C295, hingga industri kecil seperti RUAG dengan Dornier 228 telah mencoba untuk menghidupkan bisnis MPA.
Jadi apakah ini awal dari akhir untuk maritim bermesin turboprop? Fernando Ciria, Direktur Pemasaran untuk pesawat militer di Airbus Defense & Space mengatakan tidak. “Kami menjaga akan dengan C295 dan CN235 turboprop. Kami pikir turboprop tetap berlaku di sebagian besar pasar, menawarkan kompromi kecepatan transit yang baik dan kemampuan yang baik untuk operasi berkeliaran di ketinggian rendah, kecepatan rendah dan biaya rendah, “katanya.
Sumber : Jejak Tapak