Jika ada penerbangan khusus, meski FIR (Flight Information Region) dikontrol oleh Singapura, tetap saja harus mendapat approval dan security clearance dari pihak Indonesia.
JAKARTA - Pekan lalu, kekuatan pertahanan udara TNI AU dilengkapi dengan satu skuadron pesawat tempur Golden Eagles T50i buatan Korea Selatan. Kini, TNI AU juga tengah menunggu pesawat tanpa awak dari Israel. Pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) udara dari kedua negara ini menimbulkan polemik. Apalagi, kita tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Apa saja yang menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan alutsista yang dapat memperkuat pertahanan udara? Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia punya jawabannya. Menurutnya, pengadaan alutsista dipilih yang terbaik berdasarkan kebutuhan TNI. “Kami membeli yang terbaik berdasarkan kebutuhan. Kami tidak memikirkan politik dan sebagainya. Harapannya tidak menimbulkan polemik, tapi akan jadi alutsista terbaik yang bisa kami operasikan,” katanya Kamis pekan lalu.
Kepada Sukron Faisal, Faorick Pakpahan, dan pewarta foto Asep Tatang dari SINDO Weekly, Ida Bagus Putu Dunia juga menjawab kabar keberatan AU mengenai penggunaan Halim sebagai bandara komersial. “Secara organisasi tidak keberatan, kalau ada satu dua orang wajar saja berpendapat seperti itu. Barangkali itu perwujudan kecintaan dia terhadap TNI AU,” paparnya.
Kini Lanud Halim melayani penerbangan umum, adakah benturan antara kepentingan militer dengan komersial?
Memang mesti kita lihat dari awal terjadinya penerbangan di Jakarta. Awalnya, Lanud Halim itu adalah pangkalan TNI AU, salah satu pangkalan awal dibentuknya angkatan udara, termasuk Adi Sutjipto dan daerah lainnya. Dalam perkembangannya, kesejahteraan dan keamanan harus berimbang. Maka, diputuskanlah pemanfaatan bagian-bagian Halim yang tidak sepenuhnya untuk TNI AU menjadi bagian kesejahteraan, yaitu menjadi Bandara Internasional Halim.
Kemudian, kebutuhan masyarakat akan moda transportasi penerbangan semakin meningkat dan Bandara Halim tidak bisa dikembangkan lagi. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan membuat Bandara Cengkareng. Halim pun tidak lagi digunakan untuk penerbangan domestik ataupun internasional komersial. Ternyata, Bandara Cengkareng juga kepenuhan. Solusi terdekat adalah bagaimana mengatasi tumpukan penumpang. Maka, dilakukanlah kajian untuk mengembalikan Bandara ke Halim.
Pengembangan ini sudah kami koordinasikan dengan baik sehingga kebutuhan penerbangan TNI AU, pertahanan, VVIP, dan operasional tidak akan terganggu. Jadi, slot-slot lebih dari yang digunakan oleh TNI AU maupun negara kami berikan kepada Angkasa Pura II (AP) untuk dikelola. Saya lihat itu cukup kondusif, tidak ada permasalahan yang menonjol. Pihak AP pun menyadari bahwa prioritas ada di TNI AU, baik penerbangan latihan, operasi, dan VVIP. Kelebihan waktu itulah yang kami koordinasikan untuk diatur sehingga dapat dimanfaatkan secara optimum oleh AP untuk penerbangan sipil.
Apakah menurut Anda pengalihan sebagian penerbangan komersial ke Lanud Halim Perdana Kusuma sudah tepat?
Ini kondisi yang dihadapi sekarang, pihak AP II dan pemerintah menyatakan bahwa kondisi ini tidak akan seterusnya terjadi. Akan ada upaya bagaimana meningkatkan kemampuan bandara untuk layanan sipil. TNI AU merupakan bagian dari komponen bangsa yang ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tentu kami harus memberikan itu.
Ada kabar TNI AU tak rela Halim digunakan untuk penerbangan sipil. Bagaimana tanggapan Anda?
Secara organisasi, tidak ada keberatan. Kalau ada, satu dua orang wajar saja berpendapat seperti itu. Barangkali, itu perwujudan kecintaan dia terhadap TNI AU. Keputusan apa yang terbaik untuk bangsa ini kami terima. Jika ada pendapat anggota kami yang berbeda, dan pendapat individu itu sebagai bentuk kecintaannya kepada TNI, saya pikir itu hal yang wajar.
Sampai saat ini belum ada penunjuk jelas untuk layanan komersial di Halim. Apakah itu sebagai ketidakrelaan Halim melayani penerbangan sipil?
Sejauh ini belum saya dengar. Kalau ini permasalahan baru, tentu akan kami evaluasi untuk dicarikan solusi terbaik dari pihak TNI AU dan AP II sebagai pengelola bandara. AP masih melayani penerbangan domestik dan belum ada masukan ke kami. Sampai saat ini, pengelola bandara juga masih sibuk dengan perbaikan bandara di dalam. Jadi, belum mendapat perhatian khusus untuk yang di luar.
Flight Information Region (FIR) untuk wilayah Indonesia bagian barat masih di bawah kontrol Singapura. Apakah Indonesia masih bisa dikatakan berdaulat jika pesawat militer atau komersial kita harus lapor ke sana?
Perlu dipisahkan antara FIR dengan fungsi pertahanan. Pengontrolan udara dalam FIR terkait dengan keselamatan penerbangan, sedangkan dalam fungsi pertahanan secara otoritas dimiliki oleh Indonesia. Tapi, alangkah baiknya jika otoritas pertahanan dan pengontrolan penerbangan ada di pihak Indonesia. FIR itu adalah kenyataan sejarah. Pada awal 1946, itu merupakan hal terbaik yang dapat dicapai Indonesia.
FIR itu kesepakatan antara Singapura, Indonesia, dan beberapa negara terkait untuk mendapatkan keamanan yang optimum di daerah itu. Dalam perkembangannya di 1973, Indonesia mulai aktif dalam rapat-rapat yang dilaksanakan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Di sana, Indonesia menyampaikan suaranya. Namun, dengan berbagai pertimbangan dan konsekuensi logis, penetapan itu tetap diserahkan kepada pihak Singapura.
Apakah ada upaya agar bisa dikontrol sendiri?
Saat ini, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Pertahanan, sudah mengupayakan agar FIR dapat dikontrol oleh pihak Indonesia. Saya pikir proses ini sudah berjalan positif. Selain itu, dukungan dari masyarakat luas sangat diharapkan. Memang, tidak ada masalah secara fungsi keamanan udara. Namun bagi TNI AU, apabila FIR dikontrol oleh pemerintah Indonesia, tentu akan lebih memudahkan TNI AU dalam menjalankan tugasnya.
Jadi wilayah udara kita belum berdaulat?
Saya tidak mengatakan bahwa wilayah udara Indonesia tidak berdaulat karena fungsi pengamanan wilayah udara tetap kami laksanakan. Untuk penerbangan reguler, tentu semuanya mendapat izin dari Indonesia. Jika ada penerbangan khusus, meski FIR dikontrol oleh Singapura, tetap saja harus mendapat approval dan security clearance dari pihak Indonesia.
Satu skuadron kekuatan udara pesawat tempur T50i sudah dimiliki. Bagaimana dengan pesawat tanpa awak (UAV)?
Sudah dilaksanakan pengadaannya, tapi belum kami terima. Sampai saat ini kami belum menerima dan belum tahu berapa unit UAV yang akan memperkuat TNI AU.
Akan ditempatkan di mana saja UAV tersebut?
Kami akan tempatkan di Pontianak untuk pertama kalinya. Akan dikaji lagi di mana lokasi selanjutnya. Tentu teknologi dalam mengoperasikan UAV perlu penanganan yang serius. Lingkungan strategis yang berkembang juga terus kami waspadai. Kami menganggap penempatan di wilayah itulah yang kami butuhkan dari analisis lingkungan strategis.
Spesifikasi UAV yang diajukan pada pembelian 2006 apakah teknologinya cukup dan mumpuni, sebab setiap tahun selalu jauh berkembang?
Semuanya masih dalam proses. Saya tidak tahu persis proses pengadaannya seperti apa. Tapi, jika teknologi yang ada pada UAV itu kami rasakan cukup, tentu kami operasikan apa adanya. Tapi jika ada yang kurang, tentu akan kami kembangkan secara teknologi dan upgrading dari sistem yang ada pada UAV itu.
Sejauh mana keterlibatan TNI AU dalam menentukan jenis UAV sebagai end-user? Mengapa tidak memilih jenis Sentinel, Predator, atau Shadow dari Amerika?
Pengadaan UAV juga diperkuat dengan buatan dalam negeri—Wulung—yang akan memperkuat kekuatan UAV. Dalam acuan pengadaan alutsista, TNI AU akan mengkaji dari beberapa aspek, yang pasti harus memiliki deterrent effect dan bisa dioperasikan. Tentu spesifikasi teknis dan operational requirements menjadi dasar bagi kami untuk mengkaji dalam memilih jenis pesawat.
UAV dibeli dari Israel yang secara politis tidak ada hubungan diplomatik dan akhirnya menjadi polemik. Apa pandangan Anda?
Kami membeli yang terbaik berdasarkan kebutuhan TNI AU. Kami tidak memikirkan politik dan sebagainya. Saya sendiri tidak tahu dari mana asalnya, karena sampai saat ini pun kami belum terima. Harapan kami, apa yang kami terima nanti (UAV) tidak akan menimbulkan polemik, tapi akan menjadi alutsista terbaik yang bisa kami operasikan.(Sumber : Sindo)
Penerbang Tempur dari BaliSenin siang, 17 Desember 2012, menjadi hari menentukan bagi Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia. Perwira tinggi kelahiran Tabanan, 20 Februari 1957 ini didaulat menjadi Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara menggantikan Marsekal TNI Imam Sufaat yang masuk masa purnabakti.
Marsekal I. B. Putu Dunia merupakan lulusan Akademi Angkatan Udara di 1981. Karier terbangnya berawal dari Wing 300 Kahanudnas, Pangkalan Udara Iswahjudi, Madiun. Lanjut, ia menjadi penerbang tempur A-4 Skyhawk di Skuadron 12, Pangkalan Udara Pekanbaru. Kemudian, beralih tugas sebagai penerbang untuk jenis pesawat yang sama ke Skuadron Udara 11 di Pangkalan Udara Hasanuddin, Makassar.
Ayah dari Ida Ayu K. Satyawati dan Ida Bagus Jagannatha ini sempat menjadi Komandan Skuadron Udara 1 di Lanud Hasanuddin. Hingga akhirnya pada 2008, suami dari Ida Ayu Kumala ini menjabat posisi Danlanud Hasanuddin. Pria asal Bali ini pun pernah menduduki posisi Pangkosekhanudnas IV wilayah Biak, Papua.
Sebelum menjabat sebagai KASAU di penghujung 2012, Marsekal TNI I. B. Putu Dunia sempat menempati beberapa posisi strategis di TNI AU. Posisi itu di antaranya, Komandan Pangkalan Udara Hasanuddin, Makassar pada 2008, Panglima komando Sektor Pertahanan Udara Nasional IV wilayah Biak pada 2010, Gubernur Akademi Angkatan Udara pada 2011, dan terakhir sebagai Komandan Sekolah Staf Komando TNI pada 2012.