Dikembangkan untuk menyaingi pesawat siluman, Super Flanker akan memperkuat pertahanan udara dan kapabilitas proyeksi Angkatan Udara Indonesia.
Su-35 memiliki jangkauan 3.600 kilometer dengan mengandalkan bahan bakar internal sehingga AU Indonesia dapat menjalankan misi jarak jauh. Karena negara raksasa dengan 18.370 pulau ini belum memiliki mengembangkan secara maksimal jaringan lapangan udaranya, AU Indonesia tak bisa memencarkan pasukan udaranya. Namun dengan kemampuan penerbangan jarak jauhnya, Su-35 mampu mengatasi masalah ini.
Angkatan Udara Indonesia dapat menjangkau area patroli yang lebih luas dengan durasi yang lebih panjang. Pesawat ini dilengkapi dengan perangkat pengisian bahan bakar udara yang dapat memperpanjang jangkauannya, begitu pula waktu jelajahnya. Angkatan Udara India, yang melatih para pilot pesawat tempur Indonesia, telah melakukan misi sepuluh jam Sukhoi. Jadi secara teori, AU Indonesia pun bisa melakukan hal yang sama.
Untuk ukuran pesawat yang mampu mengangkut beban cukup berat — delapan ton misil dan bom pada 14 hardpoint — pesawat ini tergolong cepat. Kecepatannya — dikombinasikan dengan jangkauan jarak jauh — membuat pilot mampu mengulangi penjelajahan dan melakukan putaran balik — taktik Perang Dingin Rusia — yang membuat pihak musuh mengalami disorientasi, lelah, dan rentan dalam pertempuran udar satu-lawan-satu.
Fitur unggul dari pesawat tempur Rusia ini ialah kemampuannya mengangkut misil dalam jumlah besar. (Sejumlah 14 hardpoint tersebut tak dipamerkan). Ini adalah keuntungan besar bagi pilot karena mereka dapat mengangkut misil lebih banyak dan meluncurkan tembakan serentak untuk melakukan penaklukan udara-ke-udara.
Rusia telah menjual misil dengan akurasi dan dampak kinetik unggul pada sejumlah pembeli dan sepertinya Su-35 Indonesia akan dilengkapi dengan misil tersebut. Misil jarak jauh dan misil antikapal Rusia membuat Sukhoi Indonesia dapat menyerang target dari jarak aman. Su-35, bisa dibilang, menghilangkan masalah jarak. Lokasi di peta — seperti Darwin dan Perth — yang terlihat tak tergapai kini berada di jarak pandang AU Indonesia.
Kelemahan militer Indonesia terekspos luas pada krisis Timor Timur. Pada 1999, Indonesia hanya bisa menyaksikan dari pinggir saat kontingen yang sebagian besar terdiri dari pasukan Australia melepaskan Timor Timur dari Indonesia. Hal yang terjadi di bawah mandat PBB tersebut tak mengurangi rasa malu Indonesia.
Sementara saat itu kondisi ekonomi melemah, berarti Indonesia hanya mampu menginfus militernya. Setelah sanksi Amerika secara virtual mengurung pasukannya dengan F-16 yang ketinggalan zaman, Indonesia memesan dua pesawat Su-27 berkursi tunggal dan dua pesawat tempur Su-30 berkursi ganda dari Rusia pada 2003 dengan kontrak senilai 192 juta dolar AS. Empat tahun kemudian, Indonesia memesan enam Sukhoi tambahan. Analis Pertahanan Martin Sieff mendeskripsikan kontrak tersebut sebagai ‘kacang dalam perdagangan senjata internasional’.
Hasilnya: dengan pasukan yang ada, AU Indonesia tak bisa mengalahkan rival regionalnya. AU Australia memiliki 69 F/A-18 Hornets dan 24 Super Hornet yang canggih. Australia juga memiliki pesawat tempur elektronik EA-18G Growler, yang dapat memperkuat pasukan mereka dalam segala konflik. Selain itu, AU Australia, yang senang mengikuti haluan Amerika, memiliki kemampuan tempur, bahkan jika aksi semacam itu termasuk melakukan serangan pura-pura melawan ISIS.
Su-35 merupakan senjata yang dapat memperkuat pasukan Indonesia, dan tergolong unggul di panggung militer Asia Tenggara. Pesawat ini memiliki kemampuan avionik canggih yang dapat mengatasi gangguan elektronik dan membutakan pesawat musuh dengan perangkat pengganggunya. Sebagian besar analis dari Barat sepakat bahwa Su-35 adalah pesawat nonsiluman paling kuat dan dapat mengalahkan semua pesawat tempur barat kontemporer, kecuali pesawat siluman F-22. Namun, F-22 dibanderol seharga 350 juta dolar AS per pesawat, sementara Su-35 dibanderol seharga 65 juta dolar AS.
Tiongkok adalah kekhawatiran lainnya. Jakarta terlibat dalam kisruh regional dengan Beijing terkait sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan. Indonesia mungkin tak akan bisa menandingi kekuatan tembak Tiongkok, tapi dengan Su-35, AU Indonesia memiliki kemampuan dan rasa percaya diri untuk mengawasi pesawat Tiongkok di atas perairan netral.
Meski efektivitasnya diperdebatkan, sepertinya pada tahun 2020-an jet tempur siluman jenis baru akan menjadi fitur regular bagi semua angkatan udara di dunia. Di Asia, Tiongkok telah memulai seri produksi pesawat siluman J-31 dan J-21, dan Australia telah memesan 70 unit F-35 dari AS.
Bagaimana posisi Indonesia di lingkungan ‘siluman’ tersebut? AU Indonesia telah mengindikasikan mereka tertarik membeli pesawat tempur multiperan Rusia-India PAK-FA. Indonesia kemudian bergabung dengan Korea Selatan untuk mengembangkan Korean Fighter-Experimental (KFX). Namun, hal tersebut tak berjalan sesuai rencana.
Seperti semua pesawat tempur siluman di dunia, proyek KFX yang mahal mengalami turbulensi. Menurut majalah Forbes, AS tak mempercayakan Korea Selatan untuk memberi empat ‘teknologi dasar’ yang dibutuhkan bagi proyek tersebut. “Korea menghadapi kekecewaan pahit atas penolakan AS untuk mempercayakan sekutunya akan perangkat teknologi canggih yang dibutuhkan bagi KFX yang tak hanya memiliki kapabilitas siluman, tapi juga mampu mencari dan melacak target berbahaya dengan radar terbarunya.”
Su-35 merupakan “asuransi” bagi Indonesia jika KFX ditunda atau dibatalkan. Yang Cheng-wei, pakar Taiwan dalam bidang sistem senjata Rusia, mendeskripsikan pesawat tersebut sebagai ‘jet generasi kelima tanpa penampilan pesawat tempur siluman’. Faktanya, pesawat tersebut memiliki sejumlah teknologi futuristik yang dikembangkan bagi pesawat siluman Rusia PAK-FA.
Dalam laporan Agustus 2015 yang disusun oleh National Security Network (NSN) yang berbasis di AS, Su-35 dapat mengalahkan F-35 dalam pertempuran satu-lawan-satu. Dalam “Thunder without Lightning: The High Costs and Limited Benefits of the F-35 Program”, analis kebijakan NSN Bill French dan peneliti Daniel Edgren menyebutkan bahwa F-35 sepertinya akan terkalahkan oleh ‘rekan sebayanya’, Su-35.
“Mungkin yang lebih signifikan dari radar antisiluman adalah kelemahan F-35 dalam mendeteksi sensor inframerah. Sistem Infrared Search-and-Track (IRST), yang dimiliki oleh pesawat tempur asing, dapat mendeteksi pesawat dari jarak yang signifikan tanpa memancarkan sinyal mereka sendiri.”
Senada dengan implikasi teknologi IRST yang mengungguli radar siluman, Kepala Operasi AL Amerika Laksamana Jonathan Greenert menyampaikan pada NSN, “Jika sesuatu bergerak cepat di udara, mengacaukan molekul dan menciptakan panas — tak peduli seberapa canggih mesin, ia akan terdeteksi.”
“F-35 lemah dalam menghadapi deteksi IRST karena ia dilengkapi mesin raksasa yang memiliki dorongan 40 ribu pon tanpa perlindungan inframerah. Sementara, IRST OLS-35 yang dimiliki Su-35 dapat mendeteksi pesawat dari depan pada jarak 30 mil, dari belakang pada jarak 50 mil, dan peluncur misil dari jarak yang sama.”
Su-35 merupakan pesawat masa depan yang mampu mengambil keuntungan dari generasi kelima tanpa perlu berkeringat. Menurut Defense Industry Daily, jika Indonesia memutuskan untuk tetap bertahan dalam proyek KFX, “negara ini membutuhkan pengisi celah untuk berjaga-jaga jika jadwal KFX tak sesuai rencana, serta menghadapi risiko perkembangannya.”
Alternatifnya, jika Rusia kembali mampu menarik perhatian Indonesia dengan program PAK-FA, Super Flanker dapat menjadi jembatan terakhir Indonesia ke era pesawat siluman.
Sumber : RBTH