Ranjau adalah ninja peperangan: diam dan mematikan. Senjata licik yang sangat efektif tidak hanya untuk merusak tetapi juga untuk menebarkan ketakutan dan ketidakpastian.
Ranjau laut terutama sudah terbukti sangat ampuh. Dijatuhkan dari udara oleh Amerika di perairan Jepang pada tahun 1945 dengan sandi Operation Starvation, ranjau telah menjadi kekuatan mengerikan dalam menenggelamkan kapal Jepang di bulan-bulan terakhir perang.
Tebaran ranjau pada 1972 di pelabuhan Haiphong telah mendorong mendorong Vietnam Utara ke meja perdamaian, sementara jebakan bawah air Saddam Hussein mengancam supremasi angkatan laut AS saat Desert Storm. “Pada bulan Februari 1991 Angkatan Laut kehilangan komando laut di Teluk Arab ketika lebih dari seribu ranjau ditaburkan oleh pasukan Irak.
Dua kapal Angkatan Laut rusak berat dan komandan membatalkan serangan amfibi karena takut ada korban lebih besar, “kata seorang sejarawan perang ranjau Angkatan Laut AS.
Dan pada 23 September 2014 lalu sebuah bomber B-52H yang terbang tinggi menjatuhkan ranjau laut Quickstrike. Sesuatu yang luar biasa terjadi bukannya jatuh ke bawah tetapi ranjau meluncur 40 mil laut dari titik peluncuran. Alasannya? Ranjau itu memiliki sayap.
Ini adalah senjata hybrid yang merupakan kombinasi dari ranjau Quickstrike dan JDAM, atau Joint Direct Attack Munition, konsep cerdas yang menggabungkan sirip dan bimbingan GPS untuk bom bodoh, sehingga mengubahnya menjadi bom curah dipandu. Ranjau Quickstrike ini telah dilengkapi dengan JSAM-ER, yang memungkinkan untuk meluncur jarak jauh. Senjata baru yang disebut dengan GBU-62B (V-1) / B Quickstrike-ER, memiliki jangkauan 40 mil laut ketika diluncurkan dari ketinggian 35.000 kaki.
“Upaya ini menandai kemajuan pertama dalam teknik pengiriman ranjau udara sejak tahun 1943, dan menunjukkan kemampuan yang secara substansial mengubah potensi ranjau udara di lingkungan ancaman,” tulis Kolonel Michael Pietrucha dari Angkatan Udara AS dalam sebuah artikel di Air & Space Power Journal .
Menjawab Masalah Sulit
Masalah dengan menebarkan ranjau dari udara adalah bahwa hal itu sulit dan berbahaya, membutuhkan pesawat terbang tingkat rendah untuk melawan pertahanan udara musuh.
Sebelumnya menebarkan ranjau dari udara harus dilakukan dengan terbang rendah dan lambat. Teknik yang pada dasarnya sama seperti yang B-29 lakukan ketika menebar ranjau di Laut Jepang pada tahun 1945, “Sulit untuk menjatuhkan ranjau pada posisi yang tepat jika pesawat terbang tinggi dan cepat. Sebuah B-52 bisa mejatuhkan ranjau pada ketinggian 500 kaki dan kecepatan 320 knot. Tetapi ini terlalu lambat dan tidak aman untuk sebuah pesawat tempur atau Bomber B-1B. F/A-18 dan P-3 mempekerjakan profil yang sama, pesawat harus terbang rendah dan lambat. Dan hal ini yang diduga telah menjadi penyebab hilangnya satu pesawat dan kru di Desert Storm hanya untuk menebarkan ranjau. Belum lagi jika lokasi yang dituju penuh dengan ancaman senjata antipesawat
Tapi sistem penebaran ranjau baru ini telah mengubah permainan. Banyak pesawat taktis Amerika termasuk bomber B-1 telah mampu membawa rudal JDAM. Dan mereka dengan mudah akan bisa menebarkan ranjau laut.
“Tidak ada perbedaan antara meluncurkan JDAM terhadap target darat dengan menjatuhkan ke laut. Tidak ada pelatihan tambahan untuk menjatuhkan ranjau, “tulis Pietrucha sebagaimana dikutip National Interest Senin 19 Oktober 2015. Menebarkan ranjau dari ketinggian juga memungkinkan awak pesawat untuk menjatuhkan beban mereka jauh dari luar pertahanan udara musuh.
Ancaman konflik di Laut China Selatan telah memfokuskan perhatian pada senjata berteknologi tinggi seperti F-35 dan kapal pembunuh rudal balistik China. Tapi Sebenrnya ranjau JDAM adalah teknologi yang cukup murah. Ranjau Quickstrike – bom 2.000 pon yang dikonfigurasi sebagai senjata bawah air dibuat pada 1983, sementara kit JDAM hanya membutuhkan biaya sekitar US$ 20.000.
Skenario di China dan Iran
Pietrucha menggambarkan beberapa skenario di mana AS meluncurkan ranjau yang bisa berdampak besar. “Armada Angkatan Laut China di Zhanjiang, Ningbo (Zhoushan), dan Qingdao semua rentan terhadap blokade, dengan Zhoushan yang paling mudah untuk diisolasi dan Ningbo yang paling sulit. Armada kapal selam di pulau Hainan memiliki pendekatan yang terbatas. Sebuah kapal yang tenggelam di saluran pengiriman dapat membuktikan secara brutal efektif.”
Pelabuhan Iran Bandar Abbas juga akan menjadi target utama, Pietrucha menambahkan. Lalu ada sungai vital seperti Yangtze, serta perairan dangkal yang menjadi jalur penting seperti Dardanella, Teluk Finlandia dan Selat Hormuz.
Pietrucha juga menyebut kemungkinanan menggunakan JDAM ER / Quickstrike untuk membuat ladang ranjau defensif secara cepat dalam menghadapi serangan amfibi musuh. Ini ancaman yang akan memberikan jeda pergerakan China. Jika terjadi konflik untuk merebut Taiwan, atau sengketa kepulauan Pasifik, ladang ranjau bisa dengan mudah mengganggu pendaratan kapal China. Pietrucha juga menyarankan langkah logis berikutnya, yang menambahkan mesin ke Quickstrike ER / JDAM hingga bisa menciptakan sebuah rudal ranjau dengan jangkauan ratusan mil.
Apakah ada kelemahan dari ranjau ini? Sayangnya, ada benar-benar tidak ada. Seperti biasa, ranjau yang murah, sulit untuk dideteksi dan disapu serta menciptakan kekacauan di luar proporsi kerusakan mereka yang sebenarnya.
Sayangnya, negara yang memiliki sistem ini pastilah bukan hanya Amerika saja. China, Rusia, dan bahkan Iran dan Korea Utara bisa saja memilikinya mengingat sebenarnya teknologinya sudah ada. Dan tidak perlu sebuah ranjau canggih, tetap bisa membuat kerusakan berat dan sulit disapu. Sementara Amerika sendiri hanya memiliki 11 kapal penyapu ranjau kelas Avenger yang sudah tua, 32 Kapal Littoral Combat yang akan dibangun dilengkapi dengan modul penyapu, serta helikopter tua Sea Dragon juga masih diandalkan sebagai penyapu ranjau. Di sisi lain, Cina sedang membangun drone minesweeping hingga mungkin tidak ada yang menang dalam skenario ini.
Sumber : Jejak Tapak