Menurut Marsetio, peran TNI, terutama Angkatan Laut (AL) sangat penting dalam menjaga kawasan laut Indonesia, terutama dalam menjaga pulau-pulau strategis yang berbatasan laut dengan 10 negara tetangga. Diantaranya, India, Thailand, Malaysia, Brunai Darussalam, Vietnam, Singapura, Timor Leste, Piliphina, dan Australia. Bahkan, Indonesia dapat menjadi poros maritim dunia dengan satu syarat yakni mewujudkan laut sebagai pemersatu bangsa, bukan sebagai pemisah. "Untuk mewujudkan semua itu dibutuhkan political will, action plan, dan budget policy yang didukung oleh semua komponen bangsa. Baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif," ucapnya.
Supaya hal itu tercapai, kata Marsetio, pemerintah harus mampu mewujudkan arus distribusi komoditas ekonomi ke seluruh pelosok tanah air sebagai upaya pemerataan pembangunan dengan menerapkan azas cabotage. Hal itu juga untuk melindungi kedaulatan negara dan perwujudan wawasan nusantara serta memberikan kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dalam memperoleh pangsa muatan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia, dan diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. "Disamping itu pemerintah juga harus mewujudkan pengelolaan sumber daya kelautan dan pertambangan serta energi terbarukan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat," ujarnya.
Dia menambahkan, pembenahan pelabuhan laut berstandar internasional utamanya di ALKI agar alur kedatangan dan keberangkatan kapal berjalan lancar, menjadi kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi pemerintah. Artinya, alur, fasilitas labuh, gudang, bekal ulang, transportasi, keamanan di pelabuhan, kecepatan pengurusan dokumen eksport - import sudah dilakukan dengan cepat. "Disamping kita harus mewujudkan injasmar/shipyard dengan memberdayakan industri perkapalan dalam negeri yang modern," kata Marsetio.
Semua itu belum dapat terwujud secara sempurna, tutur Marsetio, jika Indonesia belum memiliki kekuatan AL handal dan disegani di kawasan. Antara lain membangun alutsista yang memiliki keunggulan dari pada negara tetangga untuk menjaga kewibawaan atau deterence effect, mewujudkan AL yang menjadi inisiator dalam berbagai kegiatan negara-negara maritim kawasan, antara lain pertemuan para Kepala Staf Angkatan Laut atau Asian Navy Chief Metting, International Maritime Security Symposium, Multilateral Exercise Komodo serta Jakarta International Defence Dialogue. "Sebagai negara yang cinta damai, kita juga harus selalu siap untuk berperang," katanya.
Sementara itu, Praktisi Kemaritiman, Capten Radial Huda menegaskan, untuk mewujudkan negara maritim kuat dibutuhkan kapal-kapal berbendera Indonesia yang menguasai lautan Indonesia. Ia mengingatkan bahwa laut tidak ada pemiliknya. Pemilik laut adalah pemilik kapal. "Kalau tidak memiliki kapal berbendera Indonesia, negara ini hanya memiliki laut di atas peta imajiner," katanya.
Menurut Radial, negara belum hadir di laut Indonesia karena tiga golongan kapal yang diperbolehkan berada di laut tidak terpenuhi. Pertama, golongan kapal perang. Kedua, golongan kapal dagang dan nelayan. Ketiga, golongan kapal keselamatan. "Kenyataanya kapal dagang dan nelayan di Indonesia sangat sedikit. Sedangkan kapal keselamatan sama sekali tidak ada. Yang ada hanya kapal milik KKP, Polair, Dishub," kata dia.
Selain itu, menurut Aryo, perwujudan keamanan nasional dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai nasionalisme. Sebab, penjajahan tidak lagi dilakukan melalui aneksasi atau dengan senjata. Melainkan masuk lewat ekonomi dan kebudayaan. Bahkan, penjajahan telah menembus ruang Senayan melalui pasal-pasal yang tertuang di Undang-undang (UU) dan peraturan lainnya. "Kita harus dapat menjaga itu semua melalui peningkatan nasionalisme kita. Jangan sampai nilai-nilai kita tergadai oleh kepentingan VOC," kata dia.
Aryo mengaku pernah mengalami pengalaman buruk saat kunjungan kerja ke Malaysia. Dimana, kata dia, masyarakat Malaysia seolah-olah melihat anggota parlemen dari Indonesia dengan sebelah mata. Bahkan, disamakan dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di negara mereka. "Itu bisa terjadi karena kekuatan negara tidak hadir saat TKI dianiaya, dilecehkan, dan jadi korban pemerkosaan. Makanya kita dianggap rendah oleh mereka. Makanya, kita harus memperkuat pertahanan kita agar wibawa kita kembali meningkat," kata dia.
Direktur Berdingkari Institut itu menambahkan, Jokowi-JK akan terus berupaya membangun perekonomian dan peningkatan kualitas manusia Indonesia melalui pelbagai macam program pro rakyat melalui sembilan poin perjuangan, yakni nawacita. "Di bahwa kepemimpinan Jokowi-JK Indonesia akan kembali merajai kawasan," kata Aryo.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, Dedy Irawan, menyambut baik kosa kata maritim kembali dipergunakan. Hal itu menunjukan bagaimana bangsa Indonesia menghargai laut. Namun, ia tidak setuju jika Jokowi-JK membentuk Badan Maritim karena akan membuat anggaran menggelembung. "Tidak perlu Badan Maritim, cukup Kementerian Maritim yang memiliki kewenangan lebih besar," ucapnya.
Sumber : Jurnas