Membengkaknya biaya dan penundaan telah menjadi perbincangan panjang banyak kritikus program pesawat tempur siluman F-35 Joint Strike Fighter. Dan sekarang muncul lagi bahan perdebatan baru karena semakin banyaknya pakar industri pertahanan yang mempertanyakan kemampuan siluman F-35 dan efeknya terhadap kemampuan peperangan elektronik (electronic warfare) Amerika Serikat.
Sejak awal pengembangannya, F-35 didesain memiliki radar cross section yang rendah, membuatnya sulit dideteksi radar musuh. Sama seperti pesawat siluman pendahulunya, seperti F-117, pesawat ini mengkombinasikan bahan khusus penyerap radar dan senjata yang dibawa secara internal (pada internal weapon bay) yang membantu mengurangi signature.
Secara teori, hal ini berarti F-35 dapat beroperasi di wilayah udara di mana terdapat ancaman tinggi senjata-senjata anti-access/area-denial (A2/AD), seperti sistem rudal permukaan ke udara. Pesawat siluman terdahulu, seperti pembom F-117 dan B-2, bisa menjadi bukti keandalan teknologi siluman pesawat-pesawat Amerika. Hanya satu pesawat siluman yang pernah ditembak jatuh dalam kurun waktu 30 tahun setelah penerbangan pertamanya.
Belum kita membahas Rusia, musuh potensial AS seperti China saja terus meningkatkan kemampuan A2/AD mereka dengan mengembangkan sistem radar baru yang mampu mendeteksi pesawat siluman. Rahasia teknologi pesawat siluman AS juga telah bocor karena aktivitas spionase. Pada tahun 2011 lalu, Noshir Gowadia, salah satu desainer dari pembom B-2, dihukum karena memberikan informasi rahasia teknologi pesawat B-2 ke China dan beberapa negara lain.
Jadi, tidak hanya negara seperti China yang telah meng-upgrade sistem radar mereka, selanjutnya mereka juga akan tahu bagaimana cara mengeliminasi keunggulan yang dimiliki sebuah pesawat siluman.
Sistem radar yang terus dikembangkan oleh negara lain juga menjadi kabar buruk bagi pesawat-pesawat tempur "teknologi lama" Amerika saat ini, seperti F-15, F-16 dan F/A-18, yang karakteristik silumannya sangat terbatas. Tanki bahan bakar eksternal (external fuel tank), senjata yang dibawa di luar bodi, dan minimnya bahan penyerap radar membuat pesawat-pesawat ini mudah terdeteksi radar, dengan demikian rentan beroperasi di daerah A2/AD.
Biasanya, jika pesawat-pesawat ini beroperasi di wilayah dimana dikerahkan senjata-senjata A2/AD, mereka akan dibantu oleh pesawat yang memiliki kemampuan jamming elektronik. Misalnya untuk melindungi misi armada pesawat F/A-18, Angkatan Laut AS (US Navy) juga menerbangkan pesawat electronic warfare (EW) Boeing EA-18G Growler yang dilengkapi dengan peralatan jamming radar canggih.
F-35 memiliki kemampuan EW sendiri dalam bentuk sistem radar AN/APG-81 active electronically scanned array (AESA) hasil rancangan Northrop Grumman. Para pendukung program F-35 mengatakan bahwa pesawat jamming lainnya (seperti Growler) tidak diperlukan lagi dalam membantu misi F-35. Hal ini karena F-35 dinilai sudah mampu memancarkan frekuensi yang dapat membingungkan dan menonaktifkan sistem rudal anti pesawat canggih milik Rusia seperti S-400 yang menggunakan radar untuk mengunci pesawat musuh.
Meski demikian, beberapa tokoh di US Navy dan industri pertahanan Amerika mengatakan bahwa kemampuan siluman dan EW dari F-35 tidaklah cukup.
Pada Maret lalu, Laksamana Michael Manazir, US Navy director of air warfare, mengatakan kepada wartawan bahwa pancaran frekuensi dari Growler masih lebih unggul daripada F-35, menjadikan pesawat ini sebagai senjata EW yang terbaik. Menurutnya, skenario operasi yang lebih realistis dan efektif adalah: " Growler mendukung misi F-35 dalam peran saling melengkapi."
Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak pengakuan bahwa US Navy tidak merasa 'nyaman' dengan kemampuan F-35 untuk beroperasi di wilayah dengan A2/AD. Sehingga pada bulan yang sama juga terungkap bahwa US Navy memprioritaskan penambahan 22 unit Growler dari dana anggaran tahun 2015, dengan biaya sekitar USD 2,14 miliar. Laksamana Jonathan Greenert, US Navy Chief of Naval Operations, mengatakan bahwa ia melihat adanya kebutuhan yang semakin meningkat untuk pesawat Growler.
US Navy menilai penambahan pesawat Growler merupakan solusi dari kurang "bermutunya" progam F-35 - yang secara historis mendapat sambutan hangat dari beberapa unit militer AS lainnya.
Dan pernyataan "lemahnya" kemampuan F-35 dalam menembus sistem pertahanan udara canggih tidak hanya muncul dari US Navy. Pada bulan Mei lalu sebuah artikel dari Air & Space Power Journal, seorang perwira senior Angkatan Udara AS (USAF) mempertanyakan kemampuan F-35 dan mengatakan bahwa sudah ada cukup alasan untuk membatalkan program F-35.
"Meskipun seandainya ada dana yang tidak terbatas, masih ada cukup alasan untuk mengakhiri program F-35," tulis Kolonel Michael W. Pietrucha. "Kita berasumsi mengenai lingkungan operasional, yang dibuat lebih dari satu dekade lalu, sudah tidak sesuai dengan realitas saat ini... Misi dari pesawat -untuk menembus sistem pertahanan udara canggih dan menjatuhkan amunisi precision-guide pada target penting musuh- (dengan mengandalkan fitur siluman) sudah dipertanyakan keefektifannya," jelas Pietrucha.
Jalan alternatifnya, menurut Pietrucha, USAF menstop program F-35. Sebaliknya, USAF akan mempertahankan F-35 yang ada dan mengupgrade airframe pesawat-pesawat generasi sebelumnya dengan teknologi generasi kelima.
Seperti halnya US Navy dengan pesawat Growler-nya, Pietrucha mengatakan bahwa USAF juga harus membangun kembali armada pesawat EW, yang telah menurun drastis sejak dipensiunkannya pesawat EF-111G dan F-4G dua puluh tahun silam.
Analisis Pietrucha ini tentu saja tidak mengenakkan Lockheed Martin, pengembang F-35 yang juga merupakan saingan Boeing. Bukan rahasia lagi bahwa di belakang layar Boeing gencar melobi pejabat pertahanan AS untuk menjaga produksi F/A-18 hingga melampaui tahun 2016 dan pesanan untuk 50-100 unit lebih pesawat Growler.
Tapi Boeing harus sangat berhati-hati dalam menginvestasikan dana untuk pesawat Growler, kata Amy Butler, seorang editor di Aviation Week.
"Perusahaan (Boeing) harus membuat bukti kuat bahwa tanpa Growler yang banyak, pesawat siluman dari armada Pentagon akan rentan terhadap sistem pertahanan udara," katanya. Sebagai argumen tajam dan menantang bagi Boeing.
"Dan pelanggan F-35 tentu akan kecewa dengan investasi mereka yang miliaran dolar pada F-35, yang ternyata rentan pada sistem pertahanan udara yang nilai investasinya relatif kecil," tegas Amy.
Pada tingkat produksi saat ini, Super Hornet dan Growler di lini produksi Boeing di St Louis, Missouri, akan menghentikan produksinya pada kuartal ketiga di tahun 2016. Menurut Boeing, program ini telah menciptakan 60.000 pekerjaan di AS dan menyumbangkan USD 3 miliar untuk ekonomi tahunan.
Pada Mei lalu, Boeing merayakan pengiriman Growler yang ke seratus untuk US Navy, sebuah tonggak sejarah untuk program Growler. Pada apa yang mungkin menjadi acuan terkait pembengkakan biaya dan penundaan F-35, Kapten Frank Morley, manajer program F/A-18 dan EA-18G US Navy mengatakan bahwa progam untuk Growler akan tetap pada jalurnya.
"US Navy membutuhkan 50-100 pesawat (Growler) lagi untuk memenuhi kebutuhan di masa depan," jelas Morley.
Pejabat Pentagon berada dalam posisi yang dilema. Jika Pentagon ingin berinvestasi lebih pada pesawat EW - seperti Growler -, berarti menandakan kurangnya 'iman' mereka pada kemampuan F-35 dalam menembus wilayah dengan sistem pertahanan udara. Sebaliknya, jika tidak berinvestasi untuk menambah kemampuan EW, hidup pada pilot F-35 bisa berisiko dengan semakin canggihnya senjata-senjata A2/AD di negara-negara seperti China.
Pengandangan yang kesekian kalinya dari seluruh F-35 pada awal Juli lalu, setelah mesin F-35A USAF terbakar, tidak akan menyelesaikan masalah. Risiko teknis masih menjadi faktor utama dalam program F-35, sementara itu keraguan F-35 untuk beroperasi di wilayah A2/AD tidak mungkin mempengaruhi jadwal pengiriman, membuat peran dasar F-35 sebagai pesawat tempur siluman generasi kelima dipertanyakan. (Grant Turnbull from Air Force Technology)
Sumber : Artileri