Prinsip 'Si Vis Pacem Para Bellum' yang diadopsi dari Bahasa Latin memiliki pemahaman bahwa ‘Jika menginginkan perdamaian, maka harus siap perang’. Prinsip yang ditelurkan oleh Flavius Vegetius Renatus ini sepertinya harus benar-benar dipahami oleh pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla mendatang, jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia.
Namun, sebelum melangkah lebih jauh bagaimana cara untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritime dunia, sejumlah pihak mengingatkan untuk mengenal konstelasi geopolitik Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara, negara kepulauan dengan jumlah 17.499 pulau.
Dua samudera dua benua mengapit Indonesia yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta Benua Asia dan Benua Australia. Adapun, luas perairan Indonesia mencapai 5,9 juta kilometer persegi dengan panjang garis pantai 81 ribu kilometer. Luas perairan itu meliputi perairan kepulauan, laut territorial dan zona economic eksklusive (ZEE).
Lalu, bagaimana korelasi antara poros maritim dunia ala Jokowi dengan prinsip tersebut? Apakah Indonesia harus siap berperang dengan negara lain? Sementara kunci utama dari sebuah peperangan adalah kekuatan ekonomi sebuah negara untuk membangun alutsista pertahanan mereka.
Kondisi geopolitikPengamat militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengatakan, kawasan perairan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan penting dalam poros maritim dunia. Hal itu dilihat dari kompetensi jalur laut yang dimiliki negara-negara di kawasan tersebut.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki 39 selat yang memiliki keterkaitan dengan selat lain di kawasan Asia. Dari jumlah tersebut, kata dia, ada sejumlah selat yang dianggap sebagai lokasi strategis jalur pelayaran.
“Dengan kepemilikan selat yang banyak, dan beberapa sangat startegi maka kita jadi barometer kawasan dan kunci stabilitas kawasan, kunci stabilitator kawasan,” kata Connie saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk ‘Mewujudkan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia: Dari Negara Kepulauan Menuju Negara Maritim', di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Kamis (8/10/2014) kemarin.
Secara terpisah, Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana TNI Marsetio mengatakan, Indonesia memiliki empat dari sembilan choke point yang ada di dunia. Choke point merupakan istilah di dunia militer yang mengacu pada kondisi geografis suatu wilayah yang harus dilalui dengan cara mengurangi kekuatan. Empat choke point yang dimaksud di sini adalah Selat Malaka, Selat Makassar, Selat Sunda dan Selat Lombok. Keempat selat itu sering dijadikan sebagai jalur pelayaran internasional.
Dalam Piagam Hukum Laut PBB (United Nation Convention on the Law of the Sea-UNCLOS), harus dipahami bahwa prinsip negara kepulauan yang dianut Indonesia, memiliki konsekuensi besar terhadap sistem pertahanan yang harus dibangun.
Penetrasi Tiongkok dan pembangunan pangkalan militer ASDalam seminar bertajuk "Menerjemahkan Gagasan Poros Maritim" di Universitas Nasional, Jakarta, Kamis (9/10/2014), Marsetio menekankan, TNI berperan penting dalam bertugas menjaga wilayah perbatasan Indonesia. Pasalnya, di wilayah itu kerap terjadi konflik antar negara.
Indonesia memiliki persoalan tapal batas dengan sepuluh negara yang berada di sekitarnya, yaitu Malaysia, Timor-Timur, Singapura, Thailand, Papua Nugini, Australia, Filipina, Brunei Darussalam, Kamboja, dan Tiongkok. Dari sepuluh negara itu, baru dengan Singapura persoalan tapal batas itu selesai.
“Indonesia memiliki kondisi geopolitik, geostrategi dan demografi yang cukup dan juga SDA. Kenapa potensi konflik kita terletak pada masalah perbatasan, karena disana terletak SDA kita yang belum dikelola secara utuh,” kata Marsetio.
Persoalannya adalah selain berada di kawasan Asia Tenggara, Indonesia juga berada di tengah-tengah US Pacific Development. Amerika Serikat kini memiliki sejumlah pangkalan militer yang terletak di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti di Jepang, Korea Selatan dan Singapura.
Connie mengatakan, melihat upaya pembangunan itu, Tiongkok tak akan tinggal diam. Sejak tahun 2010, Tiongkok telah memulai pembangunan ekonomi dan militer berbasis maritim. Connie memprediksi, penguasaan Tiongkok atas wilayah laut akan semakin meningkat pada tahun 2050 yang akan datang.
“Pertanyaannya mau dibawa kemana itu semua, sebab semua akan lewat perairan indonesia. Kita tidak bisa melarang tapi batasan-batasan itu bisa dilindungi,” kata Connie.
Sebagai negara regulator, Indonesia memiliki hak untuk mengatur lalu lintas pelayaran yang ada di wilayahnya. Hal itu sesuai dengan peraturan yang terdapat di dalam UNCLOS tersebut. Selain itu, Indonesia juga berhak melakukan pencegahan, pengaturan, pengendalian pencemaran, minyak dan bahan beracun.
Connie pun mengingatkan, bahwa Indonesia termasuk dalam negara yang wilayah lautannya masih sehat jika dibandingkan dengan negara lain yang memiliki luas lautan yang sama. Sehingga, Indonesia memerlukan Angkatan Laut dan Angkatan Udara yang kuat untuk menjaga keutuhan kedaulatan wilayah negaranya.
Poros maritim dunia dan tol lautPolitisi PDI Perjuangan Aria Bima mengingatkan, pasangan Jokowi-JK memiliki sembilan agenda prioritas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Nawa Cita. Adapun poin pertama di dalam Nawa Cita itu adalah Jokowi-JK ingin menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.
“Perlindungan itu melalui politik luar negeri bebas aktif, kemananan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim,” kata dia saat diskusi di Universitas Nasional, Jakarta, Kamis.
Poin pertama Nawa Cita itu sepertinya menjadi trigger konsep poros maritim dunia yang ingin dibangun Jokowi-JK mendatang. Di samping, penekanan terhadap Tri Matra yang mengacu pada pembangunan ketiga angkatan yang terdapat di dalam TNI, yaitu Angkatan Laut, Angkatan Darat dan Angkatan Udara.
Dalam beberapa kesempatan, Jokowi menyatakan bahwa untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, salah satu upaya yang dapat dilakukan yakni dengan membangun kebijakan Tol Laut.
Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana mengatakan, bukan perkara mudah mengalihkan paradigma masyarakat Indonesia dari darat dan udara sentris ke laut.
Ia mengatakan, pemerintahan yang akan datang perlu menyiapkan sebuah road map panjang untuk mengubah paradigma masyarakat. Di samping itu, diperlukan juga sebuah kementerian koordiantor yang bertugas untuk mengeksekusi road map serta merencanakan anggaran sesuai dengan target yang hendak dicapai.
“Menjadikan Indonesia sebagai poros maritime dunia memerlukan anggaran yang besar. Sebetulnya ada banyak yang harus dibenahi dan disiapkan. Tidak cukup pembangunan poros maritime dunia dalam waktu singkat,” kata dia, dalam seminar di Lemhanas.
Hikmahanto menekankan, pentingnya pembangunan infrastruktur serta pondasi keamanan Tol Laut. Pemerintah, kata dia, juga perlu memperhatikan pembangunan armada perang laut terutama untuk melindungi jalur pelayaran Tol Laut itu serta nelayan Indonesia.
Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Eddy K. Logam mengungkapkan, untuk membangun negara maritim yang kuat, maka diperlukan industri pelayaran dan galangan kapal yang kuat pula. Namun, ia melihat, bahwa industri galangan kapal dalam negeri masih menghadapi problem klasik yang cukup rumit.
Ia mengatakan, pertumbuhan kapal yang dibeli oleh perusahaan pelayaran Indonesia mencapai delapan ribu unit. Dari jumlah tersebut, hanya 10 persen saja yang dibeli dari industri galangan kapal dalam negeri. Para pemilik industri pelayaran kerap mengeluhkan besarnya biaya yang harus mereka keluarkan jika ingin membeli kapal produk dalam negeri, meski secara mutu dan kualitas sama dengan produk luar negeri.
"Padahal galangan dalam negeri bisa bangun galangan berkualitas jika semua itu ditiadakan. Kami minta Menkeu membebaskan pajak. Jika itu diwujudkan berapa devisa yang diselamatkan, sebab kita impor kapal hingga triliunan rupiah," kata dia.
Sementara itu, Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto meminta agar Jokowi membahas secara mendalam konsep Tol Laut itu. Ia mengingatkan, jangan sampai program andalan Jokowi itu justru akan tumpang tindih dengan program yang sudah ada.
"Tol Laut yang dimaksud apa? Pemerintah sebelumnya juga sudah melakukan short sea shipping," ujarnya.
Selain itu, ia meminta agar Jokowi konsisten dengan apa yang dijanjikan. Menurut dia, beberapa waktu lalu Jokowi pernah menyatakan ingin membangun industri galangan kapal yang mampu membuat kapal berkapasitas 3.000 twenty-foot equivalent unit (TEUs). Belakangan, Jokowi justru menganulir pernyataannya dan berencana membangun perusahaan galangan kapal berkapasitas 1.500 TEUs.
“Padahal di dalam negeri sudah ada industri yang bisa membuat kapal berkapasitas 1.700 TEUs,” kata Carmelita.
Sumber : Kompas