Dalam perjalanan kembali ke Port Said, lantaran tak mendapat izin berlabuh di Tartus, Syria, mereka membunuh seorang penumpang warganegara Amerika Serikat berdarah Yahudi, Leon Klinghoffer. Mayatnya dibuang ke laut.
Setelah kapal berlabuh, para pembajak menuju Bandara Almaza, Mesir. Mereka lalu menumpang pesawat Egypt Air tujuan Tunisia, pusat gerakan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO)– sebelum pindah ke Irak– pada tengah malam. Pesawat juga mengangkut Abu Abbas, pemimpin PLO, dan komandan sayap militernya, Ozzuddin Badrakkan. Penerbangan itu diperoleh dari pemerintah Mesir sebagai kompensasi atas penyerahan diri mereka.
“Pada 10 Oktober, mereka naik penerbangan Boeing 737 Egypt Air di Port Said, dan dikawal pasukan Force 777, unit kontrateror Mesir,” tulis Nigel Cawthorne dalam Warrior Elite: 31 Heroic Special-Ops Missions from The Raid on Son Tay to The Killing of Osama Bin Laden.
Sebagai pembalasan atas kematian seorang warganya, AS merancang operasi rahasia menyergap Egypt Air. Dewan Nasional mendiskusikannya dengan Presiden Ronald Reagan, dan Reagan memberi lampu hijau. “Kapal induk USS Saratoga baru saja berlayar dari Albania dan diperintahkan melakukan operasi hanya dua jam sebelum misi berjalan,” tulis David Miller dalam Illustrated Directory of Special Forces.
Maka, dari geladak kapal induk, meluncurlah pesawat E-2C Hawkeye, EA 6B Prowler, dan tujuh jet tempur F-14 Tomcat. Mereka menguntit Egypt Air tanpa cahaya. Di sekitar Pulau Kreta, Yunani, pilot Hawkeye memerintahkan pilot Egypt Air, Ahmed Moneeb, mendarat di landasan udara NATO Sigonella di Sisilia, Italia. Karena perintah itu tak digubris, jet-jet Tomcat mengintimidasi dengan menyalakan dan menyorotkan lampu serta mengurung Egypt Air. Moneeb coba mengadakan kontak radio dengan Kairo tapi sia-sia lantaran sinyal sudah disumbat pesawat EA-6B Prowler. Semua pesawat akhirnya mendarat di Sigonella.
Dunia gempar karena AS meringkus pesawat sipil dengan kekuatan militer, tak ubahnya tindakan teroris. Presiden dan rakyat Mesir marah karena wibawa mereka diinjak-injak. Demonstrasi anti-AS dan Israel muncul di Kairo.
Di Sigonella, tim khusus antiteror AS yang dipimpin Mayjen Carl Stiner mendapatkan penolakan dari otoritas setempat. Permintaan AS untuk mengekstradisi empat pembajak plus Abbas dan Badrakkan ke AS juga ditolak pemerintah Italia. Stiner mengabarkan situasi di lapangan ke Gedung Putih.
Reagan mengontak presiden Italia, Bethino Craxi, yang bersimpati terhadap perjuangan rakyat Palestina, tapi gagal. Reagan lalu mengontak perdana menteri Italia. Di sambungan lain, Presiden Mesir Hosni Mubarak bernegosiasi dengan pemerintah Italia: bila Italia tak mengizinkan Egypt Air terbang bersama para pembajak, Mesir tak akan memberi izin pelayaran kapal Achille Lauro.
Pemerintah Italia ambil sikap. Mereka memerintahkan pasukan Stiner mundur. Mereka menolak permintaan ekstradisi Abbas dan Badrakkan ke negerinya. Mereka juga mengadili empat pembajak: Youssef Majed, pembunuh Leon Klinghoffer, dijatuhi hukuman 30 tahun; sementara tiga pembajak lainnya lima tahun penjara. Abbas dan Badrakkan juga diadili dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara karena terbukti otak di balik pembajakan namun mereka kemudian kabur ke Yugoslavia pada 1986.
“Meksi pemerintah Italia menahan empat pelaku pembajakan kapal pesiar, mereka mengizinkan otak pimpinan komplotan melarikan diri ke Yugoslavia meski ada permintaan penahanan dari Presiden Reagan,” tulis Michael Bohn dalam The Achille Lauro Hijacking: Lessons in the Politics and Prejudice of Terrorism.
Kesal, AS melayangkan protes ke pemerintah Italia, yang dianggap membiarkan pelarian itu. AS juga mengajukan permintaan ekstradisi kepada pemerintahan Yugoslavia tapi ditolak.
Abbas kemudian berpindah-pindah tempat sebelum menetap di Irak pada 1994 di bawah perlindungan Presiden Saddam Hussein. Dia ditangkap pasukan AS saat invasi Irak pada 2003 dan tewas dalam tahanan.
Sumber : Historia