Dini hari tanggal 29 Juli 1947, pilot Muljono dengan pesawat Guntei serta Soetardjo Sigit dan Soeharnoko Harbani masing-masing dengan pesawat Cureng—semua pesawat peninggalan Jepang—menyerang kedudukan Belanda di Ambarawa, Salatiga, dan Semarang. Tahun 2003, tepatnya 3 Juli 2003, armada US Navy yang berupa kapal induk, kapal perusak, dan fregat berlayar dari Singapura menuju Australia melalui Selat Karimata, Laut Jawa.
Saat melewati perairan Bawean, pesawat F-18 yang terbang bermanuver di udara terdeteksi oleh radar sipil dan militer Indonesia. Gerakan ini dilihat oleh pilot Bouraq dan dilaporkan ke Air Traffic Control (ATC) Surabaya karena mengganggu penerbangan sipil. Setelah diidentifikasi oleh dua pesawat F-16 TNI AU, disepakati bahwa pesawat-pesawat US Navy tersebut melaporkan posisi mereka ke ATC Surabaya dan Bali.
September 2008, lima orang mendarat di Merauke dengan pesawat kecil dari satu titik pemberangkatan di Australia. Mereka ditahan pihak imigrasi karena tidak memiliki dokumen untuk memasuki negara lain. Pesawat yang digunakan juga tidak memiliki izin sesuai aturan internasional untuk masuk ke wilayah Republik Indonesia.Tanggal 29 November 2011, sebuah pesawat Falcon F-900 Papua Niugini (PNG) yang berangkat dari Subang menuju Port Moresby telah dicegat oleh Sukhoi Angkatan Udara. Pemerintah PNG marah besar kepada Pemerintah Indonesia dan insiden ini nyaris membuat hubungan bilateral terganggu.
Sebelum itu, awal Maret 2011, sebuah pesawat Pakistan milik maskapai Pakistan International Airlines (PIA) dipaksa mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, karena tidak memiliki Diplomatic Clearance, Security Clearance, dan Flight Approval. Pesawat tersebut terbang dari Dili, Timor Leste, menuju Malaysia. Pesawat terdeteksi oleh radar bandara.
Menjaga kedaulatan
Itulah beberapa contoh dari kegiatan yang berkait erat dengan tugas-tugas menjaga kedaulatan negara di udara. Menjaga dalam hal ini tentu saja bukan hanya saat negara dalam keadaan perang, melainkan juga dan terutama saat damai.
Prioritas kewaspadaan adalah daerah-daerah perbatasan negara, baik di darat maupun di laut. Kerawanan di daerah-daerah tertentu menjadi lebih kompleks karena batas perairan antarnegara tak kunjung jelas posisinya.
Di sisi lain masih ada pula daerah kedaulatan negara yang pengelolaannya masih di bawah kendali otoritas penerbangan negara tetangga. Di daerah yang berdekatan terdapat kawasan pelatihan militer negara itu.
Di wilayah lain terdapat kawasan tambang lepas laut yang berjarak sangat dekat dengan Timor Leste, bahkan dengan Darwin di Australia yang baru saja dapat penempatan satu unit pasukan marinir Amerika Serikat. Tugas-tugas pengawasan udara wilayah kedaulatan Indonesia memang sangat kompleks. Maka, keberadaan radar canggih dan pesawat tempur yang siaga menjadi sangat penting.
Dasar hukum pelaksanaan aktivitas menjaga kedaulatan negara di udara tidak pula sederhana. Seperti diketahui, referensi standar yang menjadi acuan bersama adalah Konvensi Chicago.
Pasal 1 dari Convention on International Civil Aviation, Chicago, 7 Desember 1944, berbunyi, ”Setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif (complete and exclusive) terhadap ruang udara di atas wilayah kedaulatannya.”
Masalahnya adalah pada kasus-kasus tertentu konvensi ini akan berhadapan dengan hukum laut internasional yang berhubungan dengan alur laut Kepulauan Indonesia atau ALKI yang mengatur batas ketinggian terbang tertentu di jalur tersebut. Belum lagi perdebatan yang belum usai mengenai ALKI yang membujur utara-selatan versus keinginan banyak pihak agar dikelola pada arah timur-barat. Semua itu tentu saja mengebiri status komplet dan eksklusif kedaulatan RI di udara.
Peran Kohanudnas
Maka, seperti halnya peran angkatan udara di mana pun, seluruh kegiatan angkatan udara berada dalam kerangka pertahanan udara nasional. Pertahanan ini dalam konteks tertentu secara universal akan berarti ”to defend by attacking”.
Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) memiliki peran sentral dalam menjalankan tugas-tugas itu. Namun, dalam konteks pertahanan negara yang menganut total defense—dulu dikenal sebagai sishankamrata—kiranya Kohanudnas dan angkatan udara tidak boleh dibiarkan sendirian. Seluruh potensi nasional dalam bidang keudaraan (national air power) harus menjadi bagian utuh dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara di udara.
Memelihara pertahanan udara nasional terlalu besar untuk didelegasikan kepada Kohanudnas saja. Kohanudnas harus diberdayakan sesuai tugas pokoknya, demikian pula angkatan udara yang bertanggung jawab terhadap kedaulatan negara di udara.(Sumber : Chappy Hakim)